JAKARTA (Arrahmah.id) – Sebuah video yang berisi produk makanan dengan nama tuyul, tuak, beer dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJHP) viral.
Video yang beredar luas di media sosial tersebut membuat heboh masyarakat, sebab selama ini makanan atau minuman dengan nama tersebut dikenal sebagai makanan dan minuman haram.
Menanggapi hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan bahwa pemberian sertifikat halal itu menyalahi standar fatwa MUI.
MUI juga telah melakukan konfirmasi, klarifikasi, pengecekan dan investigasi. Hasilnya, informasi yang tersebar di media sosial benar adanya.
“Sesuai rilis (benar),” kata Asrorun Niam Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa, pada Selasa (1/10/2024).
Niam mengungkapkan produk-produk yang disebutkan dalam video viral itu mendapatkan sertifikat halal melalui Self Declare tanpa audit dari Lembaga Pemeriksa Halal serta Komisi Fatwa MUI.
Oleh karena itu, Niam menyatakan pihaknya tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk tersebut.
“Penetapan Halal tersebut menyalahi Standar Fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” ujarnya dalam rapat klarifikasi dan tabayun yang digelar pada Senin (30/9).
Rapat itu juga dihadiri pimpinan Komisi Fatwa MUI serta unsur masyarakat pemerhati dan pegiat halal nasional yang melaporkan kasus tersebut ke MUI.
Lebih lanjut, Niam menegaskan bahwa MUI akan segera berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencari solusi terbaik agar tidak ada lagi kasus serupa.
“Saya akan segera komunikasi dengan teman-teman Kemenag, khususnya BPJPH untuk mendiskusikan masalah ini,” ungkap Niam, seperti dilansir detik.
Sebab, menurut Niam, penetapan kehalalan produk harus mengacu pada standar halal yang telah ditetapkan oleh MUI.
“Sementara penerbitan Sertifikat Halal terhadap produk-produk tersebut, tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI tentang standar halal,” ujar Niam.
Dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, setidaknya ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
“Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosiasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan,” papar Niam.
Kemudian, turut dijelaskan pada ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol. Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi (‘urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao.
Atas dasar itu, Niam mengimbau agar semua pihak yang berperan dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam proses penetapan halal. Niam juga menegaskan akan berkoordinasi dengan BPJPH agar kasus-kasus serupa tidak terulang.
“MUI akan koordinasi dan konsolidasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa terulang. Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halal an,” jelasnya. (Rafa/arrahmah.id)