Kini, di luar Gaza, tangisan anak-anak dan gema kehidupan yang hancur masih terngiang di benak tentara ‘Israel’ Mosche Avichzer. Darah berceceran, tak kunjung pudar, menodai seragam tentara pendudukannya, dan debu dari permukiman yang hancur menempel di kulitnya.
Misi telah selesai: Gaza hancur, penduduknya tanpa air, listrik, atau harapan. Kini, kebutuhan untuk menenangkan diri menuntut tugas baru.
Namun, di manakah seorang tentara ‘Israel’ seperti Avichzer bisa bersantai setelah melakukan kekejaman seperti itu? Jawabannya adalah Maroko – tepatnya Marrakesh.
After participating in the genocide war in Gaza for three months, Moshe Avichzer is now spending a vacation in Marrakech, Morocco, accompanied by a group of Israelis where he works as a qanun player.
بعد المشاركة في حرب الإبادة في غزة لمدة ثلاثة أشهر، يقضي موشيه أفيدزر الآن… pic.twitter.com/PSDwmhWRQA
— Khaled Yousry (@KhaledYousry22) July 20, 2024
Apa yang disebut ‘solidaritas’ Maroko dengan Palestina
Selama bertahun-tahun, Maroko, di bawah Raja Mohammed VI dan elit Makhzen, secara terbuka memposisikan dirinya sebagai pendukung Palestina. Sebagai kepala Komite Al-Quds, raja sering mengeluarkan pernyataan simbolis, yang memproyeksikan citra solidaritas dengan perjuangan Palestina.
Namun, seperti yang dikemukakan oleh teori “Kebenaran Efektif” Machiavelli, niat yang sebenarnya tidak terungkap melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan. Sikap Maroko tidak terkecuali. Meskipun secara terbuka mendukung Palestina, dan sebelum melanjutkan hubungan dengan Tel Aviv pada 2020, kerajaan tersebut diam-diam menjalin hubungan militer dan intelijen rahasia dengan negara pendudukan tersebut selama beberapa dekade.
Ini termasuk transaksi senjata, akuisisi persenjataan ‘Israel’ seperti pesawat nirawak kamikaze, dan penggunaan perangkat lunak mata-mata Pegasus – alat perang yang bertentangan dengan cita-cita kerajaan tentang keadilan dan solidaritas. Tahun lalu, hubungan ini disorot ketika André Azoulay, penasihat lama Raja Mohammed, dianugerahi penghargaan non-warga negara tertinggi ‘Israel’.
Perdagangan dengan Tel Aviv menjadi lebih jelas dan terbuka sejak penandatanganan Perjanjian Abraham; menurut laporan The Cradle awal tahun ini, Maroko termasuk di antara negara berpenduduk mayoritas Muslim yang melakukan bisnis dengan ‘Israel’, dengan ekspor ke ‘Israel’ berjumlah $17,92 juta pada 2022.
“We Are All Israelis”
Yang menambah lapisan kontradiksi ini adalah maestro media Maroko Ahmed Charai. Pada 7 Oktober 2023, setelah peluncuran operasi perlawanan Palestina Banjir Al-Asqa, Charai menulis sebuah artikel berjudul “We Are All Israelis” di Jerusalem Strategic Tribune, sebuah artikel yang membuat banyak orang Maroko tercengang.
Kata-katanya terasa seperti pengkhianatan, karena Maroko memihak kepada kekuatan yang menghancurkan kehidupan warga Palestina. Kemarahan publik pun langsung meledak, dengan banyak warga Maroko mengecam artikelnya sebagai “tipu daya” – upaya putus asa untuk mendapatkan pengakuan ‘Israel’.
Upaya Charai untuk membentuk kembali identitas Maroko agar selaras dengan tujuan Zionis menguji kredibilitas, membuat banyak warga mempertanyakan mengapa identitas nasional mereka dibajak demi keuntungan politik.
Namun, sementara Avichzer bersantai dalam kemewahan Marrakesh, menikmati kemewahannya, kedok solidaritas Maroko dengan Palestina mulai terkelupas. Menjadi jelas bahwa Maroko, terlepas dari sikapnya di depan publik, telah menjadi surga bagi tentara pendudukan yang tangannya berlumuran darah.
Dampak hukum dan kemarahan publik
Namun, liburan Avichzer di Maroko tidak luput dari perhatian.
Pada bulan Mei, Kepala Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Karim Khan menyatakan, “Ada dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa kejahatan perang telah dilakukan di Gaza,” yang secara langsung melibatkan tentara pendudukan, termasuk Avichzer, dalam pelanggaran hukum internasional. Meskipun demikian, Avichzer memamerkan keterlibatannya di media sosial, mengunggah gambar rumah-rumah yang terbakar dan lingkungan Palestina yang hancur tanpa takut akan konsekuensinya.
Pada 14 September, pengacara Maroko Bouchra al-Asmi, Salwa al-Majadli, dan Abdelssamad Taârji mengajukan pengaduan hukum terhadap Avichzer, menuduhnya melakukan genosida, pembersihan etnis, dan penyiksaan di Gaza.
Pengaduan tersebut mengutip Pasal 711-1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Maroko, yang mengizinkan penuntutan warga negara Maroko atau warga negara asing atas kejahatan teroris yang dilakukan di luar negeri jika mereka ditangkap di negara tersebut. Pengaduan tersebut juga mengutip Pasal 218-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam undang-undang antiterorisme.
“Pengejaran terhadap penjahat ini termasuk dalam kerangka membela hak asasi manusia Palestina,” kata pengacara Najia al-Hadaji, yang menekankan dasar moral dari pengaduan mereka. Asimi menyebut kunjungan Avichzer sebagai “provokasi terhadap perasaan orang Maroko.” Untuk menguatkan pengaduan mereka, para pengacara memasukkan gambar-gambar dari profil Instagram Avichzer yang menggambarkan “pembunuhan, pembakaran, dan penyiksaan terhadap orang-orang Palestina.”
Kemarahan publik meningkat di Marrakesh, dengan aktivis Imad al-Diouri mengatakan, “Tentara ‘Israel’ … akan berpikir seribu kali sebelum kembali.” Youssef Abu al-Hassan dari Front Maroko untuk Mendukung Palestina berunjuk rasa, menggarisbawahi solidaritas rakyat terhadap Palestina.
Puluhan tahun kolaborasi terselubung dan kedok diplomatik
Kasus Avichzer telah memberikan pencerahan baru mengenai hubungan Maroko yang telah berlangsung lama dengan ‘Israel’ – sebuah sejarah yang jauh lebih rumit daripada yang terlihat. Beberapa dekade lalu, Mossad memfasilitasi emigrasi orang-orang Yahudi Maroko dalam sebuah operasi yang dikenal sebagai “Yachin”.
Meskipun hal ini mungkin tampak seperti upaya kemanusiaan, akarnya adalah pada keuntungan: Raja Hassan II mengenakan biaya tinggi untuk setiap emigran, memprioritaskan keuntungan finansial di atas kesejahteraan warga negaranya.
Hubungan ini semakin kuat pada 1960-an saat Maroko mulai sangat bergantung pada intelijen ‘Israel’. Mossad melatih badan keamanan Maroko dan bahkan membantu mengawasi lawan politik. Mungkin yang paling penting, Raja Hassan II bertindak lebih jauh dengan mengizinkan Mossad menyadap pertemuan puncak Liga Arab di Casablanca, memberi ‘Israel’ informasi intelijen penting yang berkontribusi pada kemenangannya dalam Perang Enam Hari.
Menggandakan pengkhianatan
Kedalaman hubungan ini diperingati di ‘Israel, di mana sejumlah jalan dan monumen menyandang nama Raja Hassan II, yang melambangkan hubungan yang melampaui sekadar diplomasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah solidaritas Maroko dengan Palestina hanya sekadar kedok diplomatik untuk mempertahankan opini publik sekaligus memperdalam hubungan dengan ‘Israel’?
Pengungkapan yang lebih baru dan mengganggu datang dari akademisi Maroko Mohamed al-Batawi, yang menuduh bahwa tentara Maroko saat ini membantu pasukan ‘Israel’ di Gaza, menyusup ke terowongan Hamas sebagai “tikus terowongan.” Jika benar, ini melibatkan Maroko secara langsung dalam pelanggaran hukum humaniter yang dikutuk oleh ICC.
Dengan pengadilan yang sekarang sedang mempertimbangkan kasus Avichzer, semua mata tertuju pada Raja Mohammed VI. Akankah dia menjunjung tinggi prinsip keadilan yang diklaim oleh kerajaannya, atau akankah momen ini semakin mengungkap aliansi Maroko yang sebenarnya?
Di bawah pengawasan raja, Maroko menghadapi pilihan yang menentukan – pilihan yang dapat menghancurkan ilusi atau memperkuat citra negara yang menjunjung tinggi keadilan. Publik Maroko menunggu, berharap keputusan yang berakar pada integritas, bukan kekuasaan. (zarahamala/arrahmah.id)
*Penulis adalah analis geopolitik independen yang mengkhususkan diri dalam Timur Tengah dan dunia multipolar yang sedang berkembang.