Oleh Rosita
Pegiat Literasi
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bandung, Uka Suska Puji Utama memaparkan prediksi puncak kemarau di wilayah Kabupaten Bandung akan terjadi pada Agustus dan September 2024. Maka dari itu, ia menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Untuk meminimalisir dari dampak kekeringan, Uka mengatakan diperlukan koordinasi, monitoring, dan evaluasi pengaturan dari semua pihak.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Ningning Hendasah, mendapatkan laporan bahwa terdapat 856 hektar persawahan yang mulai mengalami kekeringan. Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya saat ini tengah melakukan berbagai upaya agar sawah bisa terairi mulai dari melakukan pompanisasi, irigasi perpipaan, ada sumur bor, dan sumur dangkal. (TribunJabar, 6/9/2024)
Kemarau panjang yang mengitari daerah Kabupaten Bandung dan sejumlah daerah lainnya menunjukan cuaca ekstrem telah melanda Indonesia. Sejumlah masalah pun bermunculan sebagai dampak dari perubahan cuaca tersebut, seperti kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, ancaman gagal panen, dan lain-lain.
Bermunculannya problem di atas seharusnya sudah menjadi tugas negara dalam menanganinya. Kekeringan adalah kondisi di mana suatu wilayah, lahan, maupun masyarakat mengalami kekurangan air sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Jika ditelusuri penyebab terjadinya kekeringan, selain dari faktor alam/perubahan iklim juga disebabkan oleh tangan manusia yang menebang hutan sembarangan, penggunaan tanah yang kurang teratur, penggunaan air berlebihan, polusi sumber air, alih fungsi lahan terbuka hijau menjadi bangunan-bangunan beton, dan sebagainya.
Karena itu dibutuhkan upaya negara dalam menanganinya. Negara harus membuat kebijakan yang pro terhadap rakyat mulai dari melakukan penyuluhan kepada masyarakat di berbagai wilayah agar bijak menggunakan air, menindak tegas para penebang hutan liar, menghentikan alih fungsi lahan akibat pembangunan infrastruktur melakukan mitigasi bencana alam sedini mungkin, menyediakan alat-alat seperti pompa air guna menyedot air dari sungai untuk mengairi sawah dan kebun, juga menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan yang memadai bilamana terjadi gagal panen. Tetapi langkah tersebut kenyataannya jauh panggang dari api. Bahkan, disinyalir terjadinya dampak negatif karena perubahan cuaca ekstrem disebabkan oleh adanya kebijakan penguasa yang pro terhadap para kapital atau para pemilik modal. Di antaranya pengrusakan alam demi proyek infrastruktur serta pengerukan tambang secara besar-besaran akibat kerakusan terhadap materi dunia.
Seperti halnya hari ini. Ketika kekeringan melanda, masyarakat kesulitan mengakses air bersih yang merupakan kebutuhan primernya. Jika ingin mendapatkan air bersih rakyat harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya, karena sumber mata air sudah diprivatisasi oleh para korporat. Bahkan, air sungai sekalipun sudah tidak bisa lagi dimanfaatkan karena telah tercemari sampah rumah tangga dan limbah dari pabrik-pabrik raksasa milik para pengusaha. Ini menandakan negara belum menjadi pemimpin sebagai pengurus rakyat tapi pemimpin yang abai terhadap rakyatnya.
Selain masalah di atas, mitigasi yang dilakukan pemerintah ketika terjadi bencana kekeringan juga kerap terjadi tumpang tindih kebijakan. Disebabkan tidak sedikit dana yang digelontorkan oleh pemerintah bersumber dari pemilik modal atau utang yang nantinya akan menjadi sarana terjadinya hegemoni para pemilik modal di dalam mengeruk kekayaan negeri.
Berbeda dengan sistem yang ada dalam naungan Daulah Islam. Dalam negara yang menerapkan aturan Allah Swt. dan mencontoh Rasulullah saw. Dalam sistem Islam, privatisasi terhadap kepemilikan umum hukumnya jelas haram. Maka dari itu, negara akan mengelola sumber daya air secara mandiri dengan menyediakan berbagai sarana, prasarana, dan mendukung distribusinya, sehingga dapat diakses dengan mudah, murah, bahkan gratis. Karena air merupakan salah satu harta kepemilikan umum yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hal tersebut wajib dilakukan negara sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap rakyat. Dalam pandangan Islam, negara wajib bertindak sebagai Raa’in (pengurus) rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Imam adalah pengurus rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dalam mengatasi kekeringan dan mengurangi dampak bencana alam, negara akan melakukan koordinasi antara daerah dan pusat. Kemudian, negara akan melakukan mitigasi bencana alam sejak dini, menggunakan teknologi yang ada, berikut para tenaga ahli untuk menyedot air sungai agar bisa digunakan untuk mengairi sawah dan ladang yang kekeringan, membuat waduk di beberapa daerah, melarang alih fungsi lahan, menindak tegas pelaku penebangan hutan, melakukan sosialisasi untuk penghematan air, dan lain-lain.
Adapun dana untuk semua itu diambil dari kas baitumal. Sedangkan pemasukan kas baitulmal diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam, fa’i, ghanimah kharaj jizyah zakat, yang dibagi dalam tiga pos kepemilikan harta yakni kepemilikan negara, kepemilikan individu, dan kepemilikan umum.
Seperti halnya yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab saat Madinah dilanda kekeringan. Lapisan tanah menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran. Oleh karena itu tahun ini dinamai “Tahun Abu.” Selain beliau berdoa kepada Allah Swt. beliau juga melakukan tindakan yang nyata. Seperti membuat bendungan air, melibatkan tenaga ahli untuk melakukan konservasi air jangan sampai air sungai tercemari, dan meminta bantuan terhadap wilayah yang tidak terkena dampak kekeringan agar kebutuhan pokok bagi masyarakat tetap terpenuhi.
Itulah gambaran dari negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Terukir dalam sejarah, sepanjang hampir 14 abad sistem Islam diterapkan mampu menyelesaikan seluruh masalah kehidupan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Karena itu sudah selayaknya sistem sekuler kapitalis diganti dengan sistem Islam agar dapat menanggulangi dampak dari kemarau yang panjang secara menyeluruh.
Wallahua’lam bis shawwab