(Arrahmah.id) – Penulis kitab Athfaalul Muslim Kaifa Rabbahum an Nabiyyul Amin adalah Syaikh Jamal Abdurrahman, beliau menegaskan bahwa pendidikan anak dan pengajarannya di lingkungan keluarga Muslim tidak hanya sekedar ungkapan, dan tidak sekedar pernyataan dan tulisan yang indah, akan tetapi merupakan suatu kewajiban yang paling utama dan mendasar bagi kedua orang tua sejak pra kelahiran, sampai dengan pasca kelahiran.
Kitab ini akan mengajari kita bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam kepada anak-anak Muslimin. Bukan hanya perhatian yang diberikan oleh nabi, namun perhatian oleh syariat ini kepada anak-anak. Perhatian itu benar-benar tercurahkan kepada generasi yang akan datang. Terwujud dari sejak anak masih belum ada sampai menjelang usia dewasa.
Athfal bentuk jamak dari tiflun, yang artinya anak-anak. Sedangkan Muslimin, artinya kaum Muslimin.
Bagaimana nabi yang sangat amanah mendidik mereka, mentarbiyah mereka [anak-anak Muslim].
Dalam urusan mendidik anak, kita juga harus meneladani Rasulullah, bukan karena kebiasaan (adat istiadat), bukan karena didapat dari teori-teori Barat, bukan karena kita dulu dididik demikian.
Sang penulis mengatakan bahwa beliau yang pertama kali belajar dari kitab tersebut. Permintaan dari jamaah untuk menulis, maka beliau menulis dan menyampaikan yang pertama kali mendapat faedah adalah dirinya pribadi. Ini memperlihatkan bahwa beliau menulis untuk diamalkan.
“Saya hanya berharap agar ilmu ini benar-benar tersebar dan Allah rizqi kan kepada saya keikhlasan.”
Kitab ini beliau bagi menjadi 5 fase. Interaksi nabi shalallahu alaihi wasallam dengan anak-anak dibagi dalam 5 fase:
1. Anak ketika masih di dalam tulang sulbi ayahnya sampai di usia ketiga.
2. Anak-anak usia 4-10
3. Anak-anak 10-14
4. Usia 15-18
5. Perhatian nabi kepada para pemuda setelah mereka lahir.
Penulis tidak hanya meneliti dari sisi bahasa. Tapi beliau teliti dari sisi usia. Karena bahasa Arab itu luas, misal kata ghulam jika diterjemahkan sekarang artinya remaja. Tapi kata ghulam kadang-kadang digunakan saat menyebut bayi.
Sa’ad bin Abi Waqos ketika dalam perang Uhud begitu semangat memanah, dan disemangati oleh nabi dengan kalimat ayyuhal ghulam, padahal saat itu Sa’ad laki-laki menikah, sudah memiliki anak.
Jadi penulis meneliti dan mengklasifikasikan hadist dari sisi usianya.
Muqoddimah:
Penulis mengingatkan kita bahwa masalah mendidik anak itu adalah kewajiban dasar orang tua.
Mendidik anak adalah kewajiban dasar, -bukan kita mendidik anak, melakukan dialog iman dengan anak dengan sisa-sisa tenaga kita.
Pendidikan itu urusannya surga dan neraka dan kehidupan seorang Muslim bukan hanya melihat kehidupan dari dunia saja, orientasi Muslim adalah kehidupan akhirat.
Penulis mengawali kitab ini dengan sebuah kutipan dari tulisan al Imam al Ghazali, Abu Hamid al Ghazali dari Kitab Ihya Ulumuddin: “Imam Al Ghazali berkata: ‘Ketahuilah bahwa urusan mendidik anak-anak itu adalah perkara yang paling penting dan paling ditekankan. Anak itu adalah amanah yang diserahkan kepada kedua orang tuanya, dan hatinya yang masih suci itu adalah permata yang sangat berharga. Kalau anak itu dibiasakan dengan kebaikan dan diajarkan kepadanya kebaikan, maka dia akan tumbuh di dalam kebaikan. Dan dia akan bahagia di dunia dan akhirat. Tapi jika dia dibiasakan dengan keburukan dan diabaikan sebagaimana diabaikannya hewan-hewan ternak, maka dia akan sengsara dan binasa. Dan bagaimana menjaga anak dengan hatinya yang seperti permata, menjaganya adalah dengan cara ayahnya menta’dib-nya, mengajarkan adab, memperindah akhlaknya, mengajarkan akhlak-akhlak yang baik, dan menjaganya dari pengaruh lingkungan yang buruk. Jika anak sudah dididik dan sudah nampak padanya kebaikan-kebaikan, maka tetap harus diberikan pengawalan yang baik. Maka kebaikan yang pertama kali muncul pada anak yang sudah dijaga dengan baik adalah munculnya rasa malu. Ketika anak-anak sudah mulai menahan diri, sudah mulai malu, maka itu adalah tanda terbitnya cahaya akalnya. Sehingga dia bisa memandang sebagian perkara, sebagai sesuatu yang buruk dan ini bertantangan dengan kebaikan yang lain, sehingga dia malu untuk melakukan sesuatu dan untuk hal yang lain dia tidak malu. Maka ini adalah hadiah dari Allah kepadanya. Dan ini adalah kabar gembira yang menunjukkan akhlaknya dan hatinya yang jernih. Dan dia ketika usia baligh, akalnya akan semakin sempurna. Maka anak yang sudah mulai muncul rasa malunya itu, jangan diabaikan, tetapi hendaknya dia tetap dibantu dalam pendidikannya, dalam pembentukan adabnya dengan rasa malu tersebut. Adapun anak ketika di awal perkembangannya dia diabaikan, maka kebanyakan anak yang demikian akan tumbuh dengan akhlak yang buruk. Contoh suka berbohong, suka hasad, suka mencuri, mengadu domba, suka meminta-minta. Dia akan banyak tertawa, banyak mengatakan yang sia-sia bahkan akan pandai menipu dan bersiasat. Dan sesungguhnya anak-anak bisa terjaga dari itu semua dengan pendidikan yang baik. Kemudian disibukkan aktivitasnya di Kuttab (sekolah dasar), sehingga di Kuttab ia belajar Qur’an, belajar hadist yang mulia, kisah orang shalih dan keadaan orang shalih bagaimana. Agar tertanam di dalam hatinya kecintaan kepada orang-orang shalih’.”
Hadist Nabi: Setiap anak-anak yang dilahirkan itu dilahirkan di atas fitrah. Fitrah itu menurut para ulama, adalah keimanan. Manusia itu punya fitrah keimanan, punya fitrah untuk mencari Rabb nya.
Pola keimanan sudah ada, hanya tinggal mengarahkan sedikit maka sudah datang keimanannya. Artinya mendidik anak-anak untuk beriman itu lebih mudah dari pada mendidik untuk kesesatan.
Poin penting:
– Anak adalah amanah
– Anak sudah dibekali hati (permata)
– Jika diajarkan kebaikan maka tumbuh dalam kebaikan, dia akan bahagia dunia akhirat.
Akal itu sesuatu yang bisa menahan seseorang untuk tidak melakukan beberapa hal. Jika anak sudah punya rasa malu artinya sudah muncul akalnya. Usia tamyiz sudah mulai muncul rasa malunya untuk melakukan beberapa hal yang buruk, berarti ini hadiah dari Allah.
Anak-anak itu seperti permata yang masih polos, punya potensi kebaikan, fitrah kebaikan, namun butuh didampingi untuk memunculkan potensinya. Begitu juga jika dibiarkan maka permata itu akan kusam.
Imam al Ghazali mulai berbicara tentang reward dan punishment.
Selain dibiasakan dengan kebaikan dan dihindarkan dari kebiasaan buruk, maka ada juga konsep hadiah dan hukuman.
“Kemudian jikalau mulai nampak dari anak-anak itu akhlak yang baik, dan tindakan yang terpuji, maka sepantasnya anak itu dimuliakan, karena perbuatan baiknya itu dengan hadiah-hadiah yang membuat dia bahagia, dan dia dipuji di hadapan orang-orang.”
Apresiasi tidak harus hadiah, bisa juga dengan kata-kata yang baik, yang penuh kasih sayang, itu cukup untuk membuatnya bangga dan merasa diapresiasi, sehingga ia akan menjaga kebiasaan baiknya tersebut.
Sebaliknya jika ditegur, maka harus dilakukan secara privat, tidak ditampakkan kesalahannya dihadapan orang lain.
“Sekiranya anak tersebut menyelisihi hal itu (akhlak baik), dikala waktu (sekali saja) maka kita harus bersikap thagaful (abaikan, pura-pura tidak tahu), dan agar tidak merusak tirainya dan tidak perlu digali-gali. Terutama apabila anak kita sudah berusaha menutupi kesalahannya itu (dia sudah tahu itu salah). Jika diulangi, maka tegur dengan lembut dengan sembunyi-sembunyi sambil dinasehati: ‘nak jangan sekali-kali diulangi yang seperti ini ya, nanti kesalahanmu akan tampak di hadapan orang-orang.”
Jadi jika memberi reward dilakukan di depan orang-orang, jika menegur dilakukan sembunyi-sembunyi. Konsep ini harus seimbang, dan dalam mendidik anak harus ada motivasi-motivasi demikian (reward).
Perkataan Lukman:
Kalimat yang menggambarkan Lukman menasihati anaknya, para ahli tafsir menjelaskan bahwa ada perintah dan larangan yang disertai dengan motivasi untuk melakukan perintah tersebut dan ancaman untuk menjauhi larangan tersebut.
Lukman tidak hanya memberikan perintah dan larangan tapi juga menjelaskan kepada anaknya kenapa harus melakukan itu dan kenapa tidak boleh melakukan hal tersebut.
“Dan jangan terlalu banyak mengatakan perkataan yang berupa teguran kepadanya di setiap saat. Karena sikap yang demikian malah akan membuatnya sering mendengar celaan (jadi kebal), dan membuat dia mudah melakukan keburukan dan menghilangkan pengaruh nasihat dari hatinya. Dan hendaknya kita menjaga wibawanya nasihat kepada anak-anak, maka janganlah seorang pendidik mencelanya kecuali kadang-kadang saja.”
“Dan ibu juga boleh menakuti anak dengan ayahnya dan melakukan itu untuk mencegah anak dari perilaku yang buruk.”
“Dan anak itu di sebagian siang harus dibiasakan untuk jalan, bergerak, dan beraktivitas fisik, agar dia tidak dikalahkan dengan rasa malas, dan anak hendaknya dilarang dari sikap menyombongkan diri di atas teman-teman sebayanya dengan sesuatu yang dimiliki oleh ayahnya. Hendaknya dibiasakan untuk bersikap tawadhu’.”
“Dan hendaknya anak dibiasakan untuk memuliakan semua yang berinteraksi dengannya, dan dibiasakan untuk berlah lembut dalam berbicara kepada mereka. Dan diajarkan bahwasanya kemuliaan itu ada pada sikap memberi, bukan pada sikap meminta (mengambil), dan bahwasanya sikap memgambil itu ada pada sikap itu kehinaan. Meskipun dari anak-anak orang yang berkekurangan, hendaknya diajarkan bahwa sifat tamak dan suka menerima itu adalah kehinaan. Dan bahwasanya itu adalah termasuk sikapnya anjing, karena sesungguhnya anjing itu hanya bisa menjulurkan lidahnya untuk menunggu sepotong daging.”
-bersambung-
*Disarikan dari kajian yang diisi oleh Ustadz Raza Adi Nugraha hafidzahullah