Oleh: Fitria Rahmah, S.Pd.
Pendidik Generasi dan Aktivis Muslimah
Ruang publik dalam suasana demokrasi kapitalisme tak pernah merasa tentram. Selalu ada saja suguhan dari penguasa yang membuat rakyat geram. Seperti yang baru terjadi, yaitu sikap represif yang dilakukan aparat dalam pengawalan aksi unjuk rasa yang dilakukan sebagai reaksi dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penguasa.
Menanggapi perilaku aparat dalam sejumlah aksi unjuk rasa peringatan darurat di berbagai kota hari ini, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan: “Satu kata, brutal. Sejak pagi, Amnesti memantau langsung jalannya protes. Di petang hari, ada banyak yang ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum yang professional. Jika ada peserta yang melakukan perobohan pagar Gedung DPR tidak berarti perilaku brutal diperbolehkan.”
Lanjut, Usman mengatakan bahwa “penggunaan kekuatan yang eksesif seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, kanon air maupun tongkat pemukul, tidak diperlukan sepanjang tidak ada ancaman nyata, itu harus dipertanggungjawabkan.” (amnesty.id, Kamis, 22 Agustus 2024)
Selain itu, unjuk rasa yang dilakukan di depan kantor Jabar pada Kamis (22/8/2024) mengakibatkan salah satu demonstran mahasiswa Unibba, Andi Adriana, terancam kehilangan mata akibat kekerasan yang dilakukan oleh aparat ketika aksi unjuk rasa berlangsung. (Kompas.id, Sabtu, 24 Agustus 2024) .
Sejatinya, unjuk rasa karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara, menjadi salah satu cara untuk mengingatkan pemerintah. Namun, mirisnya aparat justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan tindakan represif lainnya. Hal ini sejatinya menunjukkan, bahwa demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat. Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan dan tidak mengabaikannya.
Sebuah bukti nyata bahwa demokrasi memiliki banyak kecacatan. Negara hukum (Rechtstaat) yang ada bisa berubah menjadi negara kekuasaan (Machtstaat). Perubahan ini terjadi dikarenakan aturan yang diterapkan dalam sebuah negara demokrasi adalah aturan buatan manusia. Manusia dibebaskan dalam membuat hukum yang akan mengatur urusan rakyat.
Manusia dengan segala kelemahan dan keterbatasan yang ada didalam dirinya. Maka, dapat dipastikan hukum yang lahir dari hasil berpikir manusia adalah aturan yang cacat, tidak sempurna. Sebab yang membuat aturan adalah makhluk yang tidak sempurna dengan berbagai kekurangan.
Tak jarang keberadaan aturan tersebut dirubah dan disesuaikan mengikuti kepentingan yang ada. Maka, tak heran jika dalam negara tersebut sering terjadi pelanggaran dan penyelewangan hukum, yang pada akhirnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang ada.
Ketika kekuasaan sudah dalam posisi seperti ini, dipastikan terjadi kebijakan yang semena-mena dari penguasa, maka saat itu hukum tak lagi berguna. Hukum menjadi mati dikarenakan ia tak dapat lagi mengatur kekuasaan. Namun sebaliknya, yang ada adalah negara kekuasaan (Machtstaat), dimana kekuasaan yang mengatur hukum.
Dalam negara ini, ruang diskusi tertutup rapat, sebab keberadaanya dianggap sebagai sebuah ancaman yang dapat mengganggu kepentingan. Hak menyampaikan aspirasi hanya diperbolehkan apabila sejalan dengan kepentingan yang ada. Jika aspirasinya bertolak belakang dengan kepentingan penguasa, maka segala cara akan dilakukan untuk membungkam massa.
Itulah mengapa penguasa dalam negara demokrasi kapitalisme adalah penguasa yang anti kritik. Sebab ia adalah penguasa seluruh instrument hukum yang ada. Jika sudah seperti ini keadaannya, maka bisa dipastikan keadilan tidak akan tercipta. Dan kesejahteraan hanya milik penguasa dan orang-orang yang berada di dalam lingkaran tersebut.
Lalu apakah yang kita harapkan dari negara demokrasi saat ini?
Padahal, salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di koridornya, tidak menyelewengkan kekuasaan adalah dengan menasehati atau mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukam) yang dilakukan rakyat kepada penguasa. Selain itu, terdapat juga lembaga seperti majelis ummah sebagai sarana menampung aspirasi rakyat, yang kemudian akan disampaikan kepada Khalifah (Penguasa) dan adanya Qadli madzalim yang akan menghukum penguasa, jika mereka terbukti melakukan pelanggaran atau berlaku dzalim.
Mekanisme-mekanisme tersebut hanya ada di dalam negara yang menerapkan aturan Allah Swt. secara sempurna (kaffah). Sebab, penguasa dalam negara ini menganggap bahwa menasehati atau mengoreksi penguasa adalah bagian dari penerapan hukum syara.
Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah adalah negara Khilafah dengan Khalifah sebagai pemimpin negara dan aturan buatan Sang Maha Pencipta yang digunakan dalam mengatur urusan rakyat. Karena aturannya berasal dari Zat Yang Maha Sempurna, secara otomatis aturan yang ada adalah aturan yang sempurna, yang tidak ada cacat didalamnya. Maka, dapat dipastikan keadilan dan kesejahteraan akan tercipta dengan baik. Sebab tidak ada kepentingan manusia yang bermain didalamnya.
Kehadiran penguasa adalah sebagai pengurus urusan rakyat. Hubungan yang tercipta antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan atas dasar manfaat seperti saat ini. Namun sebaliknya, hubungan penguasa dan rakyat didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt. Sehingga, penguasa akan berupaya maksimal dalam mengurusi urusan rakyat sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt.
Oleh karena itu, penguasa akan memahami bahwa tujuan adanya muhasabah adalah agar tetap tegak aturan Allah di muka bumi, sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur
Maka, ruang dialog dalam negeri Khilafah akan terbuka lebar dan budaya amar makruf nahi munkar akan merebak di tengah-tengah rakyat sebagai upaya untuk memperjuangkan kebenaran dan melawan kebathilan.
Wallahu a’lam bis shawwab