Oleh Uqie Nai
Member Menulis Kreatif
Tiga hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-79, warganet digemparkan dengan pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Di antara pernyataannya adalah melarang anggota Paskibra putri memakai hijab (kerudung). Menurut Yudian sejak proklamsi kemerdekan 1945 tidak ada perempuan yang berhijab saat menjadi petugas pengibar bendera. Maka tujuan pelarangan hijab ini adalah untuk mewujudkan keseragaman dan kebhinekaan sebagaimana yang tertuang dalam Surat Keputusan kepala BPIP Nomor 35/2024 Tentang Standar Pakaian, Atribut dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Tak berlangsung lama, video konferensi pers yang memuat pernyataan Kepala BPIP pada 14/8/2024 menuai kecaman dan reaksi keras dari berbagai elemen. Salah satunya datang dari Pengamat Sosial, Ekonomi dan Keagamaan sekaligus Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas. Anwar menyebut pemerintah telah melecehkan konstitusi negara RI dan melakukan tindakan kekerasan kepada rakyat sendiri sebagaimana pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yan berbunyi: 1) Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Bukan hanya itu, Anwar juga mengatakan bahwa memakai hijab bagi perempuan muslim (muslimah) merupakan ibadah. Dan jika ada orang yang melarang muslimah berhijab, maka dianggap tidak menghornati konstitusi serta terkategori melecehkan ajaran Islam. Akibatnya, akan mengundang keresahan dan kegaduhan di tengah masyarakat terutama dari umat Islam. (detik.com, 14/8/2024)
Linda Suronoto ibu dari Siti Janeeta (Paskibaraka putri dari Gorontalo) mengaku perasaannya campur aduk atas pemberitaan di televisi. Satu sisi ia merasa bangga karena putrinya menjadi salah satu anggota Paskibraka, tapi di sisi lain dirinya kaget dan kecewa melihat anaknya tidak lagi menggunakan kerudung. Padahal, sejak SD Janeeta sudah mengenakannya termasuk dalam kesehariannya. Menurut Linda larangan ini sudah tercium sejak proses seleksi Paskibraka Nasional 2024 di Jakarta. Saat itu, anaknya bercerita bawa dalam proses wawancara oleh BPIP ada pertanyaan terkait kesiapan anaknya untuk membuka kerudung ketika proses pengibaran bendera Merah Putih. (Bbc.com, 16/8/2024)
Aroma Sekularisasi dalam Balut Kebijakan
Dengan keberanian masyarakat dan tokoh umat untuk speak up, esoknya pihak istana memberikan klarifikasi bahwa anggota Paskibraka putri tetap diberikan kebebasan berhijab di perayaan HUT Kemerdekaan RI di IKN. Tidak percaya begitu saja, masyarakat pun menanti tayangan pengibaran bendera secara live melalui televisi pada tanggal 17 Agustus 2024 di Istana IKN dan Istana Merdeka, Jakarta.
Sepanjang berlangsungnya acara, kamera terfokus pada Paskibraka putri tanpa hijab, sedangkan anggota lain yang tidak berhijab jauh dari sorotan kamera. Tak ayal, dunia maya pun kembali menghangat. Ada yang mengapresiasi positif, ada juga yang mempertanyakan peran anggota paskibraka berhijab dan mengaitkannya dengan pernyataan kepala BPIP dan pihak istana sehari sebelumnya.
Namanya Maulia Permata Putri. Anggota Paskibraka asal Minang Sumatra Barat. Menurut sumber yang beredar, Maulia dipersiapkan sebagai pembawa baki bendera, namun di detik-detik terakhir posisinya digeser dan diganti anggota lain yang tidak berhijab. Spekulasi pun muncul, bahwa anggota Paskibraka berhijab tidak mungkin ditempatkan di posisi utama dimana seluruh mata terfokus padanya. Jadi ucapan dari kepala BPIP atau pihak istana untuk memberi kebebasan berhijab memang terbukti tapi bukan untuk posisi strategis, melainkan pasukan pendukung saja. Dari sini dapat disimpulkan bahwa keinginan pemerintah untuk menghapus ciri muslimah di Paskibraka atau even kenegaraan akan terealisasi suatu hari nanti, yakni saat gejolak pertentangan dari masyarakat sudah mereda sebagaimana reaksi atas kebijakan lainnya seperti kenaikan UKT di perguruan tinggi. Tidak benar-benar dibatalkan tapi ditunda sementara.
Yang patut diwaspadai dari apa yang disampaikan pemerintah melalui BPIP atau pejabat lainnya adalah sekularisasi atas nama Pancasila dan kebhinekaan. Ajaran Islam dan identitas keislaman seakan coba dihilangkan melalui momen kenegaraan sebagaimana Paskibra, kurikulum pendidikan, atau Peraturan Pemerintah (PP) yang belum lama ini mengagetkan publik yaitu PP Nomor 28/2024 sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 17/2023 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja serta pelegalan aborsi untuk kondisi tertentu semisal korban pemerkosaan atau kekerasan seksual. Padahal jelas dua hal terakhir ini menurut ajaran Islam adalah haram, karena akan mengantarkan pada tindak perzinaan.
Apa yang disampaikan kepala BPIP yang mengkaitkan pencopotan kerudung karena alasan kebhinekaan adalah kebohongan dan alasan yang dipaksakan. Buktinya, terdapat foto (gambar) yang menunjukkan fakta saat Proklamasi 1945. Di dalamnya memperlihatkan ada anggota pengibar bendera memakai kerudung. Dan ini menunjukkan bahwa keberagaman suku dan agama di negeri ini diakui secara konstitusi, salah satunya sila pertama Pancasila. Dengan kata lain, BPIP dan pihak yang mengatakan kerudung tidak mencerminkan keseragaman dan kebhinekaan berarti sebuah tindak kebohongan dan tidak menghargai konstitusi serta nilai-nilai Pancasila.
Kebhinekaan Hakiki Hanya Ada dalam Islam dan Syariatnya
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati atas pernyataan kepala BPIP atau kebijakan pemerintah terkait hijab (kerudung).
Pertama: Dalam Islam, berbohong hukumnya haram secara mutlak, sesuai dalil dari Al-Quran yang artinya: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itula pembohong.” (QS. An-Nahl: 105)
Kedua: Peraturan yang mengharuskan pencopotan kerudung bertentangan dengan ajaran Islam. Dan Islam telah mengharamkan bagi setiap muslim atau muslimah membuka aurat (kasyful ‘aurat).
Dari Jabbar bin Shakhr ra. ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya kita dilarang untuk menampakkan aurat-aurat.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Berdasarkan dalil di atas, jelaslah bahwa peraturan BPIP yang mengharuskan melepas jilbab bagi anggota Paskibraka adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Islam telah mengharamkan muslim laki-laki dan perempuan untuk membuka aurat.
Ketiga: Islam mengakui keberagaman, sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Al-Qur’an:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Pengakuan Islam terhadap keberagaman ras, suku atau agama (selain Islam) hanya di ranah muamalah (interaksi antar manusia) bukan akidah. Namun, orang kafir yang berada di dalam negara Islam wajib tunduk pada aturan negara sebagaimana warga muslim. Dan negara akan membiarkan mereka dengan agama dan keyakinannya, tempat ibadahnya, makanan, atau pakaiannya dimana mereka berada.
Terkait akidah, Islam menitikberatkan pada kualitas individu, bukan tampilan luar seperti fisik, warna kulit, hingga kekayaan seseorang. Sebab, yang paling penting dalam Islam adalah iman dan ketakwaan individu muslim sebagaimana dalam surat Al-Hujurat: 13.
Wallahu a’lam bissawwab