Oleh: Pizaro Ghozali Idrus
(Arrahmah.id) – Gerakan Perlawanan Islam atau Hamas mengumumkan bahwa Kepala Biro Politik Ismail Haniyah telah syahid akibat pembunuhan yang dilaporkan dilakukan penjajah Israel di ibu kota Iran, Teheran pada Rabu (31/7/2024).
Wakil Kepala Biro Politik Hamas Mousa Abu Marzouq mengatakan pembunuhan tersebut adalah tindakan pengecut dan Hamas tidak akan dibiarkan begitu saja.
Sejatinya, perlawanan Hamas tidak akan pernah padam dengan wafatnya Haniyah. Karena gerak Hamas sudah berjalan by system.
Hal ini sebagaimana dikatakan petinggi Hamas Sami Abu Zuhri usai gugurnya Haniyah. Dia menegaskan bahwa penjajah Israel bernafsu untuk melumpuhkan Hamas dan ingin mematahkan spirit rakyat Palestina.
Namun Hamas adalah sebuah gagasan, dan kesyahidan para pemimpinnya tidak akan menghentikan gagasan ini.
“Pembunuhan ini tidak akan mencapai tujuan penjajahan dan tidak akan mampu menggeser Hamas dari mengambil alih kekuasaan, sebab Hamas akan terus menempuh jalan ini sampai akhir, dan darah ini telah meningkatkan tekadnya,” ujar Zuhri.
Situasi ini sudah terbukti pada tahun 2004 ketika pendiri Hamas Syekh Ahmad Yassin dan Dr Abdul Aziz Ranisi gugur dalam rentang waktu satu bulan. Meski kedua tokoh adalah figure kunci gerakan, tidak ada perubahan kebijakan dalam gerakan Hamas. Perlawanan terus dilakukan.
Perjuangan merebut kemerdekaan tidak kendor. Bahkan Hamas memenangkan pemilu Palestina yang bersejarah tahun 2006 yang mengejutkan Israel dan Amerika Serikat. Hamas sukses meraih kursi parlemen terbanyak mengalahkan Fatah.
Bagi Hamas, hanya ada dua alternatif dalam menentukan nasib bangsa Palestina: menyerah atau terus melawan. Kalau rakyat Palestina hendak hidup di bawah penjajahan Israel, maka pilihannya menyerah.
Namun bila bangsa Palestina mengharap kemerdekaan dan kehidupan mulia maka pilihannya hanyalah melawan.
Sejak saat itu, Hamas terus memperkuat konsolidasi. Memperkokoh basis militernya hingga bertransformasi menjadi pasukan elit yang disegani Zionis sebagaimana terjadi pada Perang Al Furqan pada 2008-2009.
Analis politik Palestina Wisam Afifah mengatakan upaya Israel untuk melumpuhkan perlawanan Hamas pada perang itu terbukti kontraproduktif bagi Israel. Dampak Perang itu hanya menyebabkan meningkatnya kekuatan Hamas, tidak hanya secara militer, namun juga secara politik di Timur Tengah.
Sebab dalam momentum ini, faksi pejuang Palestina itu justru telah mengambil banyak pelajaran dan meningkatkan persenjataannya, yang tercermin dalam tiga perang berikutnya Hijaratus Sijjil (2012) dengan manuver roket Hamas, Ashful Ma’kul (2014) dengan kemajuan taktik serangan, Saiful Quds (2021) lewat inovasi rudal jelajah.
Hal serupa terjadi dalam Operasi Taufan Al Aqsha pada 7 Oktober 2023. Dalam agresinya, penjajah Israel mentargetkan untuk menghabisi Hamas beserta seluruh komponen kekuatan politik dan militernya. Sesumbar Netanyahu untuk menghancurkan Hamas dan perlawanan rakyat dalam hitungan singkat tak terbukti.
Selama hampir 10 bulan itu, Hamas masih bertahan dan belum terlihat tanda-tanda menyerah. Perang dan agresi Israel hanya merusak dan membumihanguskan infrastruktur di Jalur Gaza serta membunuh warga sipil, anak-anak, wanita dan orang tua. Tapi tidak perlawanan bangsa Palestina.
Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur. Namun angka-angka itu tidak pernah berhasil melumpuhkan Hamas dan spirit perjuangan bangsa Palestina.
Operasi Taufan Al Aqsha justru telah mengubah bandul geopolitik global. Negara-negara Arab yang tadinya telah berjabat tangan melakukan normalisasi dengan Israel menanggung beban moral yang sangat kuat.
Dunia internasional tidak hanya mengecam Israel dan sekutu baratnya, tapi juga bungkamnya dunia Arab yang tidak melakukan tindakan berarti untuk menghentikan penjajahan.
Dukungan internasional kepada Palestina pun kian menguat dimana sebanyak 143 negara mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB dan hanya 9 negara yang menolak. Baru-baru ini International Justice Court memutuskan pendudukan Israel adalah illegal.
Situasi ini juga menunjukkan bahwa Iran bukanlah tempat yang aman bagi Hamas. Mata-mata Mossad sudah mengetahui celah keamanan di Iran. Sebab situasi tewasnya tokoh-tokoh Hamas tidak terjadi di Qatar maupun Turki.
Upaya Mossad untuk membunuh tokoh-tokoh Hamas di Turki berhasil diantisipasi oleh intelijen Turki.
Pada April 2024 lalu, Intelijen Turki berhasil menangkap 33 agen Mossad. Hamas harus berpikir ulang untuk menjaga tokoh-tokohnya di luar negeri. Karena setelah gagal mengalahkan Hamas, target Zionis adalah membunuh tokoh-tokoh Hamas di luar negeri seperti terjadi pada pendiri Brigade Izzudin Al-Qassam, Saleh Al Arouri yang dibunuh Israel di Lebanon.
Penulis adalah peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue dan Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute, kandidat PhD bidang HI di USM Malaysia.
(ameera/arrahmah.id)