JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Chalil Staquf menyebutkan bahwa pertemuan lima Nahdliyin dengan Presiden Israel Isaac Herzog, sebagai usaha yang gagal dan tak hasilkan apa-apa.
“Secara substansial tidak ada yang strategis, itu sebabnya saya bilang ini adalah inisiatif pribadi yang saya katakan gagal, karena enggak ada hasilnya apa-apa. Apalagi perjanjian ini itu, wong dialog yang dilakukan tidak ada yang substansial untuk membantu rakyat Palestina, itu tidak ada,” katanya saat konferensi pers di lantai 1 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Selasa (16/7/2024) siang.
Gus Yahya mengakui bahwa kejadian itu adalah buah dari ketidaktahuan keadaan situasi politik di Israel-Palestina sehingga kelima Nahdliyin dapat berkunjung kesana.
Gus Yahya juga menganggap kelima Nahdliyin itu ‘belum cukup umur’ sehingga keberangkatan mereka ke sana tidak menghasilkan apa-apa.
“Mengapa? Karena yang di-engage juga tidak tahu, mana yang bisa produktif membantu rakyat Palestina dan yang enggak, (Mereka) enggak tahu,” jelasnya.
“Sementara kalau kita punya pengetahuan yang cukup, pertimbangan yang cukup, punya kalkulasi strategi yang cukup. Kita bisa mempunyai engagement yang sungguh-sungguh membuat kemajuan yang nyata,” sambung Gus Yahya.
Gus Yahya juga menegaskan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh PBNU untuk perdamaian dunia.
Selama ini, Gus Yahya menilai bahwa yang dilakukan PBNU itu selalu dilakukan dengan perhitungan yang matang.
“Seperti kita membuat forum Religion 20 di Bali bersamaan dengan Group of Twenty (G20). Ini PBNU mengundang tokoh-tokoh Yahudi juga, rabi-rabi Yahudi, itu ada tiga orang yang kita minta untuk menjadi pembicara ada Rabbi Yakov Nagen dari Amerika Serikat dan Rabi Silvina Chemen dari Argentina,” jelasnya.
Alasan rabi-rabi itu diundang, kata Gus Yahya karena mereka adalah tokoh yang menyebut dirinya sebagai Masorti di lingkungan Yahudi yang menyerukan rekonstektualisasi ajaran Yahudi yang selama ini menghalangi perdamaian. Seperti ajaran yang menyatakan bahwa agama martabat non-Yahudi tidak setara dengan Yahudi.
“Rabi itu merekontrekstualisasi dan mencabut norma-norma yang lebih mendorong kepada perdamaian mereka berbicara tentang itu di dalam forum R20 dan memberikan dokumen lengkap tentang elaborasi mereka tentang masalah-masalah itu,” katanya.
“Ini strategis sekali karena kan di masyarakat Barat sama sekali tidak diketahui. Jadi orang-orang Kristen di Amerika itu, mereka tidak tau martabatnya lebih rendah dari Yahudi. Jadi ada gerakan dari agamawan Yahudi sendiri yang menyerukan perubahan norma ini supaya orang Yahudi dapat hidup setara dengan mereka yang non-Yahudi,” lanjut Gus Yahya.
Menurut Gus Yahya, itu baru yang dinamakan strategic engagement dan hasilnya jelas. Ia menjelaskan, dokumen yang diserahkan oleh Rabi Yahudi tersebut diterbitkan menjadi buku dan mendapatkan sambutan yang luas dan luar biasa.
“Ini namanya strategic engagement, ini memang kita rencanakan dengan kalkulasi yang matang, kita engage dengan siapa, soal apa, hasilnya apa, itu semua jelas. Nah ini yang kita minta, khususnya para kader dan warga NU dalam soal ini,” jelasnya.
“PBNU secara organisatoris telah menerapkan aturan bahwa semuanya melalui PBNU, semua Internasional engagement harus melalui PBNU,” terang Gus Yahya.
(ameera/arrahmah.id)