JAKARTA (Arrahmah.id) – Di tengah maraknya seruan boikot produk terafiliasi “Israel” yang menggema di seluruh dunia, termasuk Indonesia, ternyata nilai impor “Israel” ke Indonesia meningkat tajam.
Menurut data terbaru dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), impor dari “Israel” ke Indonesia meningkat ratusan persen secara tahunan.
Pada periode Januari hingga April 2024, impor “Israel” ke Indonesia meningkat 336% secara tahunan (yoy) menjadi US$ 29,2 juta atau setara dengan Rp 479,6 miliar.
Sementara itu, untuk ekspor Indonesia ke “Israel” justru turun 0,8% menjadi US$ 52,5 juta atau setara dengan Rp 862,3 miliar (US$ 1 = Rp 16.425) secara tahunan (yoy).
Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih membutuhkan beberapa barang komoditas dari negara Israel berupa peralatan dan suku cadang pemanas dan pendingin, boiler dan suku cadang pembangkit uap atau pembangkit lainnya, pompa untuk cairan dan suku cadangnya, alat untuk digunakan dengan tangan atau mesin, hingga peralatan dan suku cadang telekomunikasi.
Sebagaimana diketahui, masyarakat dunia termasuk Indonesia masih gencar menyerukan boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi “Israel”.
Seruan boikot itu terus digemakan karena melihat kebiadaban dan kekejaman yang dipertontonkan “Israel” di Jalur Gaza.
“Israel” terus melanjutkan serangan brutalnya ke Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera.
Lebih dari 36.400 warga Palestina telah terbunuh akibat serangan “Israel” di Jalur Gaza, di mana sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, dengan lebih dari 82.600 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Hampir delapan bulan setelah serangan “Israel”, sebagian besar wilayah Gaza hancur dan penduduknya hidup dengan kekurangan pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan akibat blokade “Israel” yang melumpuhkan.
“Israel” dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), yang keputusan terakhirnya memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasinya di Rafah, tempat di mana lebih dari 1 juta orang Palestina mengungsi dari perang. (Rafa/arrahmah.id)