GAZA (Arrahmah.id) – Di antara reruntuhan sekolah al-Sardi yang dikelola PBB di kamp pengungsi Nuseirat, Gaza, terdapat sisa-sisa senjata yang menewaskan sedikitnya 40 warga Palestina.
Serangan “Israel” pada Kamis dini hari itu tidak memberikan peringatan sebelumnya kepada para pengungsi yang berlindung di sekolah tersebut. Empat belas anak tewas, serta sembilan wanita dan setidaknya 74 orang lainnya terluka. Senjata yang digunakan untuk melakukan serangan tersebut -menurut Al Jazeera terhadap serpihan-serpihan yang ditinggalkan- adalah buatan Amerika Serikat.
Unit pengukuran inersia dari rudal tersebut, yang digunakan untuk membantu penargetan presisi, diproduksi oleh Honeywell, sebuah perusahaan konglomerat Amerika yang berspesialisasi dalam desain dan pengiriman sensor dan perangkat pemandu yang digunakan dalam berbagai senjata militer, lansir Al Jazeera (6/6/2024).
Unit verifikasi Sanad Al Jazeera menemukan bahwa salah satu fragmen yang ditemukan di Nuseirat memiliki nomor produsen dan kategori HG1930BA06, melacaknya kembali ke Honeywell. HG1930 mengacu pada sensor spesifik yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.
Bagian yang sama ditemukan setelah pengeboman Israel terhadap sebuah rumah warga Palestina di Shujayea, Gaza pada tahun 2014. Kedua bagian tersebut, yang terbaru dan pemboman tahun 2014, memiliki nomor komponen pabrikan yang sama.
“Kami juga melihat nomor lain seperti MFR, HG 1930 dan kemudian BA 06. Ini adalah nomor komponen pabrikan yang memberikan rincian lebih spesifik tentang komponen rudal,” kata Elijah Magnier, seorang analis militer dan politik independen, kepada Al Jazeera.
“Sekarang, jika Anda melihat identifikasi pabrikan, ini adalah format yang digunakan oleh sektor kedirgantaraan dan pertahanan di Amerika Serikat yang terhubung dengan Honeywell.”
“Honeywell dikenal sebagai pemasok IMU dalam berbagai aplikasi militer, dan khususnya peluru kendali yang telah disediakan untuk Angkatan Udara “Israel” sejak tahun 2000.”
Serangan “Israel” terhadap wilayah PBB telah menjadi hal yang biasa selama perang “Israel” di Gaza, yang kini telah menewaskan lebih dari 36.000 warga Palestina.
Amerika Serikat telah dikritik karena perannya dalam mendukung “Israel”, dan khususnya pasokan senjata yang terus berlanjut.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali menuduh “Israel” melanggar hukum internasional, dan “Israel” saat ini sedang menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional. Kepala jaksa penuntut Mahkamah Pidana Internasional juga telah meminta surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tindakan mereka di Gaza.
Pada Mei, sebuah laporan pemerintah AS menemukan kemungkinan pelanggaran “Israel” terhadap hukum internasional di Gaza, namun tidak menyebutkan secara spesifik pelanggaran apa yang akan mengakhiri bantuan militernya. Presiden AS Joe Biden telah mengancam akan menghentikan pasokan beberapa senjata ofensif kepada “Israel” jika negara itu melanjutkan operasi Rafah, namun belum melaksanakan ancaman tersebut, meskipun “Israel” terus menekan di daerah itu, yang terletak di selatan Gaza.
Gaza Tengah diserang
Gaza Tengah baru-baru ini menjadi sasaran pemboman “Israel”, yang oleh warga Palestina digambarkan mirip dengan hari-hari awal perang.
Serangan terhadap sekolah al-Sardi di Nuseirat merupakan bagian dari serangan tersebut.
“Pengeboman itu datang dari sini,” kata Naim al-Dadah, salah satu korban selamat dari serangan tersebut.
“Kami sedang tidur. Logam-logam yang beterbangan itu mencapai atap di sisi lain dan semua jaring-jaring itu mendarat di sana, di sisi lain. Apa yang terjadi pada kami di luar bayangan siapa pun.”
Saksi mata lainnya mengatakan bahwa serangan tersebut mencabik-cabik orang-orang. Orang-orang yang selamat mengumpulkan potongan tubuh, termasuk potongan tubuh anak-anak, hingga dini hari. Puing-puing senjata berserakan di seluruh ruangan yang hancur dan kasur yang berlumuran darah. Beberapa ruangan menjadi sasaran, meskipun struktur bangunan tetap utuh.
Juru bicara bahasa Arab “Israel”, Avichay Adraee, mengklaim bahwa sekolah PBB tersebut menjadi sasaran karena menjadi tempat pos komando Hamas dan para pejuang yang terlibat dalam serangan 7 Oktober lalu terhadap “Israel” yang menewaskan 1.139 orang. Dia juga mengklaim bahwa “Israel” mengambil beberapa langkah untuk meminimalisir kemungkinan jatuhnya korban sipil. Direktur kantor media pemerintah Hamas, Ismail al-Thawabta, menolak klaim “Israel” tersebut.
Pada April, outlet media +972 Magazine melaporkan bahwa “Israel” menggunakan sistem penargetan kecerdasan buatan yang disebut Lavender dalam kampanye pengeboman Gaza. Laporan tersebut mengutip pejabat militer “Israel” yang mengatakan bahwa sistem tersebut menghasilkan target-target untuk dibunuh. Untuk target Hamas tingkat rendah, kata laporan itu, tentara diizinkan untuk membunuh 15 hingga 20 warga sipil. Sebuah serangan terhadap pejabat Hamas yang lebih senior dengan pangkat komandan batalyon atau brigade digunakan untuk membenarkan pembunuhan lebih dari 100 warga sipil. (haninmazaya/arrahmah.id)