IDLIB (Arrahmah.id) — Warga Idlib kembali turun ke jalan dalam jumlah besar dalam aksi demonstrasi untuk bangkit menentang pemerintahan yang dipimpin Abu Muhammad al Jaulani, pemimpin kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir asy Syam (HTS).
Dilansir DW (25/5/2024), warga menilai gaya pemerintahan Jaulani menjadi semakin “personalistik dan diktator” dalam beberapa tahun terakhir, ungkap André Bank, pakar Suriah di Giga Institute yang berbasis di Hamburg.
Menurut Bank, pemerintahan Jaulani sangat bergantung pada politik patronase dan koneksi ke berbagai aliran HTS.
“Bukan hanya status militer dan uang yang berperan di sini, tapi juga pertanyaan tentang asal usul, afiliasi keluarga dan suku,” katanya lagi.
Karena hal itu, banyak kebencian warga ditujukan langsung terhadap sosok pemimpin HTS ini.
Untuk membendung protes terhadap pemerintahannya, sejak bulan Maret lalu Jaulani tampaknya sedang menjalankan strategi dua arah yaitu dengan menyetujui serangkaian reformasi. Hal ini termasuk amnesti bagi tahanan tertentu, pembentukan Direktorat Keamanan Publik yang baru, pemilihan Dewan Syura dan semacam badan penasehat yang terdiri dari perwakilan berbagai kelompok masyarakat.
Namun para pengkritiknya mengatakan bahwa ia belum banyak menerapkan konsesi tersebut.
Sementara itu, untuk meredam demonstrasi, Jaulani memerintahkan pasukan keamanannya menggunakan pentungan dan gas air mata serta menangkap lebih banyak orang.
Beberapa hari lalu, Jaulani mengancam para pengunjuk rasa. “Kami tidak akan menoleransi individu, perkumpulan, partai atau kelompok mana pun yang ingin merusak stabilitas wilayah yang telah dibebaskan,” katanya, mengacu pada wilayah yang dikuasai milisi HTS miliknya.
Namun ternyata selain meningkatnya protes jalanan, ada banyak juga kegelisahan yang timbul di kalangan kelompok Islam yang sebelumnya mendukung Jaulani sehingga terindikasi adanya perpecahan internal, menurut Bank.
Perpecahan ini dipicu oleh keputusan Jaulani yang menangkap para petinggi HTS, yang dituduhnya bekerja sama dengan lembaga asing dan bertukar informasi dengan pihak lain.
Bank khawatir pertikaian internal di HTS ini dapat berujung pada kembalinya kelompok militan Islamic State (ISIS) serta kelompok Hurras ad-Din, cabang al Qaeda.
“Dalam jangka pendek, Assad mendapat keuntungan dari bentrokan ini, tanpa diragukan lagi,” katanya. “Pada saat yang sama, masyarakat di barat laut Suriah juga mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas sebagian besar penderitaan mereka – sehingga kecil kemungkinannya untuk membelot ke rezim di Damaskus.”
Meskipun ada penindasan dan ancaman dari pimpinan HTS, protes belum mereda. Dibandingkan dengan gelombang-gelombang sebelumnya, gelombang-gelombang saat ini mempunyai karakteristik yang lebih luas, intensitas, dan penggunaan kekerasan.
“Protes yang terjadi saat ini di barat laut Suriah menunjukkan bahwa masyarakat sipil Suriah terus hadir dan kritis terhadap Jaulani,” kata Bank.
Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, para warga awalnya menuntut diakhirinya penyiksaan di penjara HTS, pembebasan tahanan, reformasi ekonomi dan politik, serta pengunduran diri al-Jaulani.
Protes semakin membesar dan terjadi berbulan-bulan setiap hari Jumat pasca kematian seorang tahanan di penjara, yang diduga disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan oleh pasukan keamanan HTS. (hanoum/arrahmah.id)