KABUL (Arrahmah.id) – Imarah Islam menanggapi pernyataan baru-baru ini oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, menyatakan bahwa hak-hak perempuan di Afghanistan dijamin dalam kerangka hukum Islam.
Zabihullah Mujahid, juru bicara Imarah Islam, mengatakan kepada Tolo News bahwa hak-hak perempuan lebih terjamin di negara itu daripada sebelumnya.
Juru bicara Imarah Islam mengatakan, “Saudari-saudari kami akan mendapatkan hak-hak mereka yang diberikan oleh Syariah Islam. Kami yakin bahwa seiring berjalannya waktu, semua masalah yang tersisa akan terselesaikan; namun saat ini, perempuan Afghanistan hidup dalam keamanan, perlindungan, martabat, dan kesopanan.”
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, yang sebelumnya berbicara tentang kelanjutan dukungan Washington bagi perempuan dan anak perempuan Afghanistan, menyatakan bahwa perempuan harus menjadi pusat dari setiap diskusi antara negara ini dan pemerintah sementara.
Greenfield menyatakan keprihatinannya atas apa yang disebutnya sebagai penghapusan pencapaian hak asasi manusia selama dua puluh tahun, khususnya hak-hak perempuan di Afghanistan.
Dalam sebuah pertemuan di Tokyo, Linda Thomas-Greenfield mengatakan: “Ketika kita mencari cara untuk menangani situasi di Afghanistan, perempuan harus berada di depan. Kita tidak bisa mengesampingkan perempuan Afghanistan. Mereka harus berada di tengah-tengah dan menjadi bagian dari diskusi yang kita lakukan dengan Taliban.”
Sementara itu, beberapa analis politik menekankan bahwa ketaatan penuh terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan di Afghanistan sangat penting, dan menambahkan bahwa pengakuan terhadap hak-hak perempuan di negara ini secara langsung terkait dengan pengakuan terhadap Imarah Islam.
Zakaria Mohammadi, seorang profesor universitas, mengatakan kepada Tolo News, “Imarah Islam telah memiliki kekurangan selama dua setengah tahun, yang terletak pada sektor pendidikan saudari-saudari kita. Sudah dua setengah tahun sejak mereka dilarang masuk sekolah, dan sudah lebih dari satu setengah tahun sejak mereka dilarang masuk universitas.”
Abdul Nasser Shafiq mengatakan, “Selama perempuan Afghanistan tidak mendapatkan perhatian atas hak-hak mereka, di antaranya hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang sangat layak, maka kita tidak akan bisa maju ke arah pembangunan.”
Sebelumnya, Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa persamaan hak bagi perempuan dan anak perempuan di Afghanistan merupakan prinsip dasar kebijakan Washington terhadap Kabul dan bahwa “Taliban” tidak akan diakui tanpa partisipasi perempuan dalam masyarakat dan ekonomi Afghanistan. (haninmazaya/arrahmah.id)