Oleh Ummu Fauzi
Pegiat Literasi
Pajak dalam sistem kapitalis merupakan napas kehidupan yang harus tetap ada agar roda pemerintahan tetap bertahan. Di Indonesia sendiri pajak merupakan sumber pendapatan negara yang diambil dari rakyat dan kegiatannya seperti pajak perdagangan, rumah, bangunan, pendapatan (gaji), makanan dan lainnya. Dan seakan belum puas dengan pungutan ini dalam waktu dekat pemerintah akan kembali menaikkan pajak pendapatan karena alasan kebutuhan negara.
Seperti yang dituturkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, bahwa seluruh kebijakan pemerintahan Joko Widodo akan dilanjutkan termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipastikan naik pada tahun 2025. Dengan merujuk pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP) tarif sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11 persen sudah berlaku pada April 2022, kembali dinaikan menjadi sebesar 12% paling lambat 1 Januari 2025. Alasan kenaikan pajak tersebut karena keputusan masyarakat sendiri yang memilih pemerintahan baru dengan program berkelanjutan dari presiden sebelumnya.(tirto.id Jakarta, 8/3/2024)
Dalam sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan salah satu sumber pendapatannya dari sektor pajak kenaikan ini sebuah keniscayaan. Walaupun masih dalam tahap wacana tetapi hal ini sudah membuat rakyat semakin khawatir dan resah dengan harga-harga kebutuhannya yang akan ikut naik terutama kebutuhan pokok. PPN belum naik pun kebutuhan sudah mahal dan terus mengalami lonjakan apalagi kalau sudah ketok palu, makin tercekiklah kehidupan masyarakat.
Mirisnya pendapatan negara dari sektor pajak juga rawan dikorupsi sehingga pendapatan pajak tidak tercapai solusinya dengan menaikkan pajak. Sebab kenaikan pajak tidak dibarengi dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat serta fasilitas untuk kebutuhan umum yang bisa dinikmati oleh rakyat. Banyak pejabat korup dan serakah yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Pajak sebagai sumber utama pendapatan negara adalah kebijakan yang salah, karena sejatinya negara memiliki berbagai sumber yang dapat dijadikan sumber penghasilan. Di antaranya adalah pengelolaan SDA untuk kepentingan umat yang juga dapat dijadikan salah satu sumber pemasukan harta negara. Seandainya pemerintah mau mengelola kekayaan alam sendiri tentu rakyat tidak dibebani beragam pajak dan pungutan. Sayangnya, negara dalam sistem kapitalisme tak berperan menjadi pengurus rakyat melainkan melayani para pemodal dan oligarkinya dengan cara memberikan aset-aset publik untuk kesejahteraan mereka.
Negara (penguasa) dalam sistem ini tak ubahnya sebagai pemalak yang terus menerus menjerat leher rakyat dengan beragam pungutan yang memberatkan padahal tanggung jawab negara adalah sebagai pengurus dan penjaga rakyat yang harusnya membebaskan mereka dari berbagai beban. Inilah wajah buruk kapitalisme dimana para penguasa tidak takut dengan ancaman Rasulullah saw dalam sabdanya: “Tidaklah akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim.” (HR. Imam Abu Daud)
Berbeda halnya penguasa dalam sistem Islam, di samping sebagai pelaksana syariat penguasa dalam sistem ini juga berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Dalam memenuhi tugasnya ini, penguasa memiliki berbagai sumber pendapatan yang cukup banyak yang dibagi dalam tiga pos, yaitu pos kepemilikan tetap, kepemilikan umum dan kepemilikan negara yang tersimpan dalam Baitulmal.
Pemasukan tetap yaitu dari Fa’I, ghanimah, anfal, kharaj dan jizyah. Sedangkan kepemilikan umum berasal dari pengelolaan sumber daya alam seperti minyak bumi, gas, barang tambang, laut, hutan dan lainnya. Dari kepemilikan negara ada usyur, khumus, rikaz serta harta zakat. Jika harta tersebut cukup untuk memenuhi keutuhan maka semua itu dioptimalkan pemanfaatannya.
Namun jika harta Baitulmal itu tidak mencukupi atau kosong sedangkan ada pembiayaan yang wajib dipenuhi dengan segera, maka negara akan memungut pajak atau dharibah. Jika sudah terpenuhi pajak tersebut akan dihentikan dan pungutan ini hanya diambil dari orang-orang muslim kaya saja.
Dalam Islam, pemimpin negara adalah pengurus rakyatnya. kekayaan alam dikelola untuk memenuhi kebutuhan mereka dan untuk keberlangsungan pengurusan pemerintah. Oleh karena itu negara tidak akan membebani rakyatnya dengan kebijakan zalim. Sebaliknya rakyat akan diurus, diperhatikan kebutuhannya dan dibantu hingga sejahtera. Semua ini telah terwujud selama 13 abad lamanya ketika Islam diterapkan.
Wallahu ‘alam bishawwab.