GAZA (Arrahmah.id) – Beberapa kelompok Perlawanan Palestina pada Jumat (15/3/2024) mengecam pengumuman Presiden Palestina Mahmoud Abbas tentang pemerintahan baru, karena khawatir bahwa tindakan tersebut akan semakin memecah belah bangsa.
Hamas, Jihad Islam Palestina, Front Populer untuk Pembebasan Palestina, dan kelompok Inisiatif Nasional mengeluarkan pernyataan bersama yang mempertanyakan kelayakan penggantian satu perdana menteri dengan perdana menteri lainnya “dari lingkungan politik yang sama.”
“Mengambil keputusan individu dan mengambil langkah-langkah yang dangkal dan kosong seperti membentuk pemerintahan baru tanpa konsensus nasional hanya akan memperkuat kebijakan unilateralisme dan memperdalam perpecahan,” kata pernyataan itu.
Pada Kamis (14/3), Abbas menunjuk Mohammad Mustafa sebagai perdana menteri dan memintanya untuk membentuk pemerintahan baru.
Mustafa akan menggantikan Mohammad Shtayyeh yang mengundurkan diri pada Februari sehubungan dengan perkembangan terkait perang genosida “Israel” di Gaza.
Meski bukan anggota gerakan Fatah pimpinan Abbas, Mustafa adalah anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina.
Pernyataan tersebut mendesak gerakan Fatah untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Palestina lainnya untuk mengatur tahapan saat ini sesuai dengan tujuan nasional Palestina dan memenuhi aspirasi rakyat untuk membebaskan tanah dan tempat-tempat suci mereka.
“Mengambil keputusan individu, dan melakukan langkah-langkah formal dan tanpa substansi, seperti membentuk pemerintahan baru tanpa konsensus nasional, merupakan penguatan kebijakan unilateralisme dan memperdalam perpecahan, pada momen bersejarah ketika rakyat dan perjuangan nasional kita berada dalam situasi yang tidak menguntungkan, paling membutuhkan konsensus dan persatuan, pembentukan kepemimpinan nasional yang bersatu, mempersiapkan pemilu demokratis yang bebas dengan partisipasi seluruh komponen rakyat Palestina,” kata pernyataan itu, menambahkan:
“Langkah-langkah ini menunjukkan betapa dalamnya krisis yang ada di dalam kepemimpinan Otoritas (Palestina), keterpisahannya dengan kenyataan, dan kesenjangan yang signifikan antara pemerintah dan rakyat kami, kekhawatiran dan aspirasi mereka, yang dikonfirmasi oleh pendapat mayoritas masyarakat Palestina yang menyatakan hilangnya kepercayaan mereka terhadap kebijakan dan orientasi ini.”
Sebagai presiden, Abbas tetap menjadi tokoh paling berkuasa di Otoritas Palestina, namun penunjukan pemerintahan baru tampaknya menunjukkan kesediaan untuk memenuhi tuntutan internasional untuk perubahan dalam pemerintahan.
Mustafa, yang membantu mengatur rekonstruksi Gaza setelah konflik sebelumnya, ditugaskan untuk memimpin bantuan dan pembangunan kembali wilayah tersebut, yang telah hancur akibat perang selama lebih dari lima bulan, dan mereformasi lembaga-lembaga Otoritas Palestina, menurut surat penunjukan tersebut. (zarahamala/arrahmah.id)