Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.id) – Jika tak ada badai politik yang mengguncang istana, sisa kekuasaan Jokowi akan berakhir bulan Oktober 2024. Namun masa-masa singkat jelang berakhirnya rezim tak bermartabat ini, Jokowi tak henti-hentinya berulah, memainkan manuver politik jahat yang meresahkan sekaligus menyengsarakan rakyat Indonesia.
Dalam hal ini, Jokowi berbeda dengan Soeharto, yang dilengserkan karena kasus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) 1998. Jelang pengunduran dirinya, Soeharto mengundang ulama, tokoh bangsa, termasuk ABRI untuk membentuk Komite Reformasi. Lalu menyampaikan pidato yang mengharukan. “Sebagian masyarakat ada yang menghendaki saya mengundurkan diri dari jabatan presiden. Bagi saya, mundur atau tidak, bukan masalah. Tapi masalahnya, apakah setelah saya mundur Indonesia akan lebih baik?”
Kondisi Indonesia di masa akhir kekuasaan Jokowi jauh lebih rusak dan berbahaya dibanding masa Soeharto. Saat ini, Indonesia sedang terancam, baik dari aspek agama, ideologi, ekonomi, budaya, sosial, politik, dan keamanan. Semua ini terjadi, akibat presiden Jokowi secara sukarela berperan sebagai operator dan boneka RRC.
Pasca amandemen UUD 1945 diganti menjadi UUD 2002, hampir semua produk UU berpihak pada oligarki. Tata kelola pemerintahan masuk dalam radar satelit China. Bahkan sistem pemilu 2024, lokasi servernya berada di China.
Akan tetapi apa yang dilakukan Jokowi jelang lengser dari kekuasaannya? Bukan memikirkan keselamatan negara serta nasib rakyat Indonesia, melainkan sibuk membangun dinasti kekuasaan. Menyiapkan pelanjut ambisinya, sekalipun dengan cara curang, nepotisme, dan melanggar segala etika bernegara.
Kini rezim Jokowi menjelma jadi buldozer dan tirani. Aparat keamanan, termasuk intelijen dimainkan sebagai alat pelindung presiden.
Setelah gagal mendapat dukungan publik dan partai politik untuk memperpanjang masa jabatannya, Jokowi menempuh siasat lain. Yakni, menyodorkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto; yang oleh Majalah Tempo, paslon ini disebut perpaduan antara produk gagal demokrasi dan anak haram konstitusi.
Sebelumnya, Jokowi membiarkan putra dan menantunya mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan kemudian tak keberatan adik iparnya terus menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dengan mengabaikan segala kritik masyarakat yang mempertanyakan komitmen dan integritas demokratisnya.
Disisi lain, publik serius mempertanyakan motivasi dukungan purnawirawan jenderal TNI, seperti Jenderal (purn) Wiranto, Jenderal (purn) Luhut Binsar Pandjaitan, Jenderal (purn) Agum Gumelar, dan Jenderal (purn) Susilo Bambang Yudoyono, ke capres Prabowo Subianto.
Pasalnya, selama ini para mantan jenderal ini gencar mendiskreditkan Prabowo Subianto, yang dinilainya memiliki rekam jejak yang buruk di militer. Pada Pilpres 2019, para purnawirawan TNI ini menyerukan: “Hey pensiunan TNI, Anda bodoh kalau milih orang yang kita pecat,” kata mereka.
Tapi sekarang, di Pilpres 2024, mereka yang ngomong itu berada pada kubu Prabowo-Gibran. Kenyataan ini, terlalu sederhana bila kita membaca perubahan sikap ini sekedar oportunisme politik, mencla mencle, tak punya malu, dan menjilat ludah sendiri. Oleh karena itu wajar saja dicurigai motif bergabungnya para jenderal ini ke kubu Prabowo.
Dalam sejarah kekuasaan, ada tiga faktor yang tersohor dijadikan kasus sandera untuk memaksa sesorang berbalik haluan. Yaitu, harta, tahta, wanita. Seseorang bisa menjadi pak turut seperti hewan dicucuk hidungnya, kalau diancam bongkar kasus yang dirahasiakan. Misalnya, menyembunyikan kasus zina/selingkuh, ambisi jabatan, dan rakus kekayaan.
Semua ini menciptakan keresahan yang berakibat protes meluas, menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat. Protes dilakukan mulai dari buruh, tani, nelayan, akademisi, politisi, guru besar, aktivis mahasiswa, tokoh agama, rakyat umum. Hingga munculnya gerakan pemakzulan Jokowi serta gerakan menggugat kecurangan Pemilu 2024.
Isu pemakzulan presiden Jokowi muncul setelah kelompok Petisi 100 mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md di kantornya pada Selasa, 9 Januari 2024. Kedatangan mereka untuk melaporkan dugaan kecurangan pemilu 2024, hingga usulan pemakzulan presiden.
Tuntutan pemakzulan itu buntut dugaan pelanggaran konstitusional Jokowi, antara lain nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK) dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Pemakzulan atau impeachment sebenarnya bukan hal baru dalam perpolitikan di Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat dua kali memakzulkan Presiden RI.
Pertama, terjadi di awal Orde Baru di bawah Soeharto. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam sidang 12 Maret 1967 membahas pemakzulan Presiden Soekarno karena dituduh mendalangi kudeta Gerakan 30 September/G30S PKI.
Upaya ini berhasil menggulingkan Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama RI. Ia lalu digantikan oleh ketua presidium kabinet Jenderal Soeharto sebagai penjabat presiden dan kemudian menjadi presiden penuh.
Kedua, pemakzulan yang dialami Presiden Abdurrahman Wahid di awal Reformasi. MPR menggelar sidang istimewa pada 23 Juli 2001 untuk menjatuhkan Presiden karena mencoba membubarkan parlemen, dan mengatakan anggota parlemen seperti anak TK.
Sidang itu berhasil memakzulkan Gus Dur yang dimotori fraksi PDIP. Masa kekuasaan KH. Abdurrahman Wahid hanya bertahan 2 tahun, dimulai 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian melanjutkan sisa masa jabatan Gus Dur, sementara posisi yang ditinggakan Megawati diisi oleh Hamzah Haz dari PPP.
Sulitkah Makzulkan Jokowi
Apa salah Jokowi terhadap rakyat dan negara ini, sehingga penting untuk dimakzulkan?
Inkonsistensi ucapan, peran dan sikap yang dipertontonkan Presiden Joko Widodo, menghadapi segala problem proses pemerintahan, telah mengotori keinginan menghadirkan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and clear government) sesuai TAP MPR RI No.VI/MPR/2001 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Berbagai manuver politik untuk mempertahankan kekuasaannya telah merusak prinsip-prinsip kemanusiaan yang yang adil dan beradab berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hampir segala kerusakan dan carut-marut pengelolaan negara, serta kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini, diakui ataupun diingkari, semua bersumber dari dirinya.
Pakar Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Prof Dr. Riyas Rasyid mengatakan biang dari seluruh keburukan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah pemimpin. Dan pemimpin saat ini yakni Presiden Jokowi tidak memenuhi syarat untuk memerintah.
“Seluruh kehidupan dan kebangsaan itu diwarnai oleh kualitas kepemimpinan. Pemimpin itu tidak sembarangan, dia adalah referensi utama dari perilaku masyarakat. Jadi kalau pemimpinnya sendiri culas, tidak bisa dipercaya, bermain yang tidak jelas, rusak semua negara,” kata Riyas dikutip dari YouTube Abraham Samad Speak Up, Senin (26/2/2024).
Riyas Rasyid memberikan pernyataan keras terkait kondisi politik Indonesia pasca kontestasi Pemilu 2024. Menurutnya, Presiden Jokowi tidak memiliki jiwa leadership.
“Susah cari orang yang persis seperti Jokowi. Tidak tahu malu, nekat, berani menghadapi segala hujatan, tanpa merasa bersalah. Membuat pernyataan yang meresahkan, kemudian mengingkarinya tanpa ada konsekuensi. Mungkin butuh 100 tahun sekali untuk dapat penggantinya,” ujar Riyas Rasyid lagi.
Tetapi mengapa sulit makzulkan Jokowi? Menilik pemakzulan presiden sebelumnya, sebenarnya tidak terlalu sulit menumbangkan kekuasaan rezim ini.
Jokowi yang pernah masyhur dengan julukan the king of live service ini, tidak memiliki kekuatan riel. Berbeda dengan Bung Karno yang memiliki kekuatan ideologi nasakom dan dukungan partai PNI. Juga, tidak seperti Soeharto yang memiliki kekuatan partai Golkar dan dukungan militer. Begitupun, Jokowi tidak seperti Gus Dur yang memiliki basis masa fanatik.
Lalu kekuatan apa yang dimiliki Jokowi, sehingga ada orang yang patuh padanya? Pertama, Jokowi nampak kuat karena dukungan parpol, politisi, akademisi, tokoh agama, lembaga surve, dan masyarakat yang tertipu akal bulus dan diuntungkan tirani kekuasaan. Kedua, kekuatan akal bulus dan fulus alias chuan.
Seperti pernah dikatakan Ketua Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang juga pakar hukum tata negara, Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie.
“Dalam kehidupan kebangsaan kita saat ini akal sehat (akal tulus) telah dikalahkan oleh dua iblis. Dua iblis itu adalah kekayaan dan kekuasaan, akal fulus dan akal bulus. Menurutnya, akal fulus itu untuk kekayaan atau uang. Sementara akal bulus itu untuk jabatan atau kekuasaan.”
Wallahu a’lam bisshawab!
Yogyakarta, 5 Maret 2024
(ameera/arrahmah.id)