Oleh Uqie Nai
Member AMK
Dalam kegiatan siraman rohani di Gedung Moch Toha Soreang pada Senin (5/2/2024) Bupati Bandung, Dadang Supriatna, mengimbau Aparatur Sipil Negara (ASN) Kabupaten Bandung untuk berkontribusi positif kepada masyarakat dengan mengeluarkan zakat profesi atau zakat penghasilan dari pekerjaannya. Zakat ini nantinya akan disalurkan melalui Badan Amil zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Bandung sebagai lembaga penyalur zakat dan sedekah yang bersinergi dengan Dinas Sosial. Dadang juga menekankan agar para ASN tidak merasa terpaksa dengan ajakan ini, mengingat potensi dari zakat profesi ASN cukup besar dan berdampak positif bagi warga Kabupaten Bandung termasuk pemberian intensif kepada takmir dan marbot masjid yakni sekitar Rp1,2 miliar per bulan. (Melansir.com, 6/2/2024)
Kewajiban Tak Tertunaikan, Hak Rakyat Makin Terabaikan
Kondisi masyarakat hari ini memang kian memprihatinkan. Masalah demi masalah seakan tak pernah usai, mulai dari kemiskinan, kelaparan, pengangguran, bencana alam, hingga tindak kriminal dengan segala variannya terus terjadi, tapi tak satupun mendapat perhatian dan penanganan dari negara secara tuntas. Kalaupun ada perhatian dan tindakan, nyatanya hanya bersifat parsial yang artinya tak berpengaruh secara komprehensif. Sebut saja contohnya dalam mengatasi atau mengurangi kemiskinan, negara mencukupkan diri dengan mengeluarkan kebijakan berupa bantuan sosial (Bansos) atau bantuan langsung tunai (BLT), padahal kebijakan ini pun kerap salah sasaran. Bahkan bisa dibilang tidak sepadan dengan banyaknya kebutuhan mereka yang sulit dijangkau, harga sembako, biaya berobat dan sekolah terus melambung, ditambah lagi dengan sulitnya mencari pekerjaan, menyusutnya lahan garapan, menjadikan hidup masyarakat kian berat.
Imbauan yang bermakna permintaan agar ASN mengeluarkan zakat profesi demi membantu kesulitan masyarakat sepertinya kurang tepat dilakukan oleh pemangku kebijakan. Mengingat, kesejahteraan masyarakat bukanlah tanggung jawab ASN, karena mereka juga bagian dari rakyat yang mestinya dipenuhi kebutuhannya oleh negara, baik primer seperti sandang, pangan, papan maupun kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, serta keamanan. Jika pun secara personal masyarakat ingin bersedekah atau menyalurkan hartanya untuk fakir miskin misalnya, itu adalah wujud kasih sayangnya kepada sesama manusia di samping perwujudan dari keimanannya terhadap Allah dan rasul-Nya, dan hukumnya adalah sunnah. Sementara yang wajib menanggung kebutuhan primer dan kolektif itu ada di tangan negara (penguasa).
Fakta tersebut menunjukkan bahwa para pemangku kebijakan dalam sistem hari ini yakni demokrasi kapitalisme tak berperan sebagai pelayan dan pengurus. Bahkan memahami hak dan tanggung jawabnya sebagai penguasa pun sepertinya tidak. Buktinya, untuk membantu kesulitan masyarakat saja harus meminta pegawai negeri mengeluarkan zakat profesi padahal gaji mereka adalah hak atas akad dari pekerjaannya, terserah mereka mau menggunakannya untuk apa, yang jelas bukan untuk menggantikan kewajiban negara mengurus umat.
Negara bisa menyejahterakan rakyat tanpa harus “memalak” warganya yang bekerja, yakni dengan cara mengelola sumber daya alam secara mandiri. Kekayaan alam di negeri ini cukup melimpah, baik di darat maupun di laut jika dikelola dengan baik hasilnya tidak hanya membuat rakyat sejahtera tapi juga membuat negara berdaulat. Negara bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa harus bergantung pada impor dan membiarkan para investor asing menguasai hajat publik. Namun, alih-alih mengelola sendiri SDA tersebut, negara justru menyerahkannya pada pihak swasta. Jika hal ini dibiarkan, maka kezaliman penguasa akan kian bertambah bahkan akan mencari sumber keuangan lain dari masyarakat bukan hanya zakat. Padahal, beban masyarakat dengan wajib membayar pajak dan menjadi anggota BPJS kesehatan misalnya telah menjadi bukti kesejahteraan dalam sistem kufur begitu mahal. Kezaliman itu kian bertambah ketika negara menggencarkan Proyek Strategi Nasional (PSN) demi memuluskan kontrak karya dengan kapital hingga menyebabkan banyak lahan publik terampas dan penduduknya tersingkir.
Islam Mewujudkan Tanggung Jawab Negara Secara Riil
Dalam Islam, tugas penguasa adalah menjadi pelayan dan pengurus rakyat. Ia bertanggung jawab mengatur urusan individu, masyarakat, dan negara berdasarkan arahan syariat. Di antaranya adalah mekanisme pemenuhan primer dan komunal masyarakat, mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan serta keamanan tanpa memandang kaya, miskin, muslim atau nonmuslim, semuanya memiliki hak yang sama.
Kemudian mekanisme kepegawaian/ketenagakerjaan, dimana interaksi antara buruh dan majikan (individu, perusahaan, atau negara adalah hubungan kerja sama yang terikat akad. Tugas negara dalam hal ini adalah memastikan bahwa kontrak kerja di antara kedua belah pihak harus sesuai dengan Islam dan masing-masing pihak harus menjalankan hak dan kewajibannya sesuai akad/kontrak kerja seperti penetapan upah.
Selanjutnya adalah mekanisme pengelolaan APBN oleh negara. Anggaran pendapatan dan pengeluaran negara Islam disimpan di Baitulmal. Dana yang disimpan di Baitulmal ini berasal dari zakat, dharibah, jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj, khumus, usyr, harta orang murtad, harta warisan (karena mayit tidak memiliki ahli waris) dan hasil pengelolaan SDA. Sumber-sumber keuangan itulah yang diperuntukkan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan zakat profesi atau yang dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta), tidak pernah ada sepanjang sejarah Islam yakni sejak masa Rasulullah saw. hingga masa sahabat.
Penggagas zakat profesi adalah Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az Zakah (1969). Syeikh Yusuf Qardhawi dalam hal ini mendapat pengaruh dari Syeikh Abdul Wahhab Khallaf dan Syeikh Abu Zahrah. Di Indonesia, kajian dan praktik zakat profesi mulai marak pada tahun 90-an akhir dan awal tahun 2000-an. Khususnya setelah kitab Yusuf Qardhawi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Didin Hafidhuddin dengan judul Fikih Zakat (1999). Sejak saat itu zakat profesi mulai banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia, baik BAZ, BASDA, BASNAZ, maupun LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Al-Qardhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, bahwa Nabi saw. bersabda: ”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud)
Menurut Syeikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, (III/418) zakat profesi tidak mempunyai dalil yang kuat sehingga hukumnya tidak wajib. Alasannya karena dalil utama dari zakat profesi adalah ijtihad sahabat mengenai al-maal al-mustafaad yang tidak mensyaratkan haul. Padahal ijtihad sahabat (mazhab al-shahabi) bukanlah dalil syariah yang kuat (mu’tabar).
Pendapat yang lebih kuat (rajih) mengenai al-maal al-mustafaad adalah pendapat jumhur ulama, yaitu harta tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya, hingga memenuhi syarat berlalunya haul. Inilah pendapat sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Berdasarkan pendapat yang kuat tersebut, maka zakat profesi tidak wajib dalam Islam karena dalil-dalilnya sangat lemah. Maka uang hasil profesi tidak sah dikeluarkan zakatnya saat menerima, tapi wajib digabungkan lebih dulu dengan uang yang sudah dimiliki sebelumnya. Zakat baru dikeluarkan setelah uang gabungan itu mencapai nishab dan berlalu haul atasnya. (Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 523). Wallahu a’lam bissawab.