JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua PP Muhammadiyah dan Wakil Ketua Umum MUI Anwar abbas merespons rencana PT Bank Tabungan Syariah (Persero) Tbk. menggabungkan unit usaha syariahnya dengan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. atau BMI.
Pihaknya tidak setuju karena berharap BMI tetap dengan paradigmanya dari umat, milik umat, bersama umat, dan untuk umat.
“Oleh karena itu ide untuk memergerkan bank muamalat dengan BTN Syariah sebaiknya tidak dilanjutkan,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (19/1/2024).
Anwar mengungkapkan alasan penolakan merger Muamalat dan BTN Syariah. Pertama agar warisan para pendiri terdahulu yang telah bersusah payah mendirikan bank ini tetap terjaga.
Anwar menjelaskan, pendirian BMI datang dari kalangan umat terutama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), NU dan Muhammadiyah serta beberapa para pengusaha muslim yang kemudian mendapat dukungan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Ide ini tercetus pertama sekali dalam sebuah lokakarya MUI pada Agustus 1990. Hasan Basri yang kala itu duduk sebagai ketua umum MUI mengangkat tema masalah bunga bank dan perbankan.
Ia menegaskan, meskipun pendirian Muamalat mendapat dukungan dari pemerintah tapi bank syariah pertama di Indonesia itu bukanlah bank pemerintah atau bank milik negara tapi adalah bank swasta milik umat.
“Jadi BMI ini merupakan bank pertama murni syariah yang berdiri tahun 1992 yang sejarah kelahirannya berbeda dengan bank-bank syariah lainnya yang berinduk kepada bank konvensional,” sebutnya.
Ia melanjutkan, BMI sempat menghadapi masalah sehingga untuk memperkuatnya BMI mengundang investor asing dari timur tengah. Setelah berjalan dengan baik kemudian bank ini juga kembali menghadapi masalah sehingga akhirnya untuk menyelamatkannya pemerintah mendorong BPKH untuk masuk melakukan investasi.
“Tetapi hal itu bukanlah berarti BMI sudah menjadi bank milik pemerintah karena dana BPKH yang diinvestasikan di BMI tersebut bukanlah dana dari pemerintah tapi adalah dana milik umat,” tegasnya.
Kedua, pihaknya juga ingin di tengah-tengah persaingan dunia perbankan yang ada di negeri yang mayoritas umatnya beragama Islam ini tetap ada bank swasta yang merupakan milik umat.
“Untuk itu dalam menangani masalah BMI ini ke depan kita mengharapkan pendekatan yang dipergunakan tidak hanya murni mempergunakan hitung-hitungan ekonomi dan bisnis saja tapi kita juga harus bisa memperhatikan dan mempertahankan sejarah,” lanjutnya.
Ia menambahkan, saat ini bukan lagi memikirkan bagaimana memergerkannya dengan BTN Syariah atau bank lain, melainkan secara bersama-sama memajukan dan membesarkannya. Langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah bagaimana kita bisa menggerakkan elemen-elemen umat untuk secara bersama-sama terlibat.
“Kita punya banyak ormas islam di negeri ini, juga punya banyak masjid, sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit serta usaha-usaha bisnis milik umat yang bisa digerakkan untuk itu. Hal ini tentu akan mudah dilakukan karena dengan masuknya dana BPKH ke BMI meskipun baru sekitar 1% dari total dana haji yang dikelolanya , kita melihat kepercayaan umat terhadap BMI sekarang tampak semakin kuat dan meningkat,” ungkapnya.
Oleh karena itu langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah bukan mencaplok BMI untuk menjadi bank milik negara tapi bagaimana negara bisa hadir untuk membuat BMI tetap eksis dan menjadikannya sebagai bank milik umat yang kuat dan bagus.
“Jadi ukuran keberhasilan pemerintah dalam menangani masalah BMI ini tidak dilihat dan diukur dari segi keberhasilannya untuk menjadikan Bank Muamalat menjadi bank milik negara tapi dilihat dari segi mampunya pemerintah menciptakan satu situasi dan kondisi yang mendukung untuk membuat BMI tetap menjadi sebuah bank milik umat yang kuat, maju, terpercaya, dan bisa dibanggakan,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)