JAKARTA (Arrahmah.id) – Majelis Ulama Indonesia diminta memberikan pandangan keahlian dalam sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Panji Gumilang di Pengadilan Negeri Indramayu, Rabu (17/1/2024).
Untuk subsidernya berkaitan dengan Pasal 14 ayat (2) sama juga tentang berita bohong. Lebih subsider lagi Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar berlebihan dan tidak lengkap.
Selain itu, Tim JPU juga mendakwa Panji Gumilang dengan UU ITE yakni Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
“Di mana UU itu intinya adalah untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama ras antargolongan atau SARA.
Untuk dakwaan lainnya, yakni Pasal 156 Huruf (a) KUHP mengenai kesengajaan di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Hadir mewakili MUI adalah Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH M Cholil Nafis, dan Wakil Ketua Komisi Fatwa Prof Amin Suma.
Dalam kesaksiannya, Kiai Cholil Nafis membenarkan adanya unsur penodaan agama yang dilakukan pimpinan Ponpes Al Zaitun saat menyampaikan ceramahnya di dalam masjid beberapa waktu lalu.
“Kita menyampaikan kepada hakim bahwa di dalamnya terdapat unsur ketidak sopanan, di dalam uraian soal umat islam di masjid,” ujar Kiai Cholil.
Tidak hanya itu, dalam ceramahnya, Panji Gumilang juga menyebut bahwa Allah SWT tidak mengerti bahasa Melayu. Kiai Cholil Nafis mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan salah satu kriteria unsur penodaan agama.
“Ada unsur penodaan agama menurut kriteria MUI tentang kalamullah, dan tentang Allah SWT tidak mengerti bahasa melayu. Alhamdulillah kami sudah sampaikan sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia,” kata Kiai Cholil saat dikonfirmasi tim MUIDigital.
Menurut Kiai Cholil, hal tersebut secara terang-terangan menodai salah satu sifat yang dimiliki Allah SWT, yakni sifat Al-Alim, yang memiliki arti bahwa Allah SWT Mahamengerti segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.
“Berkenaan dengan bahwa Alquran itu deklarasi Nabi Muhammad SAW, dan mengatakan kalau itu (Alquran) kalamullah berarti Allah nanti tidak mengerti bahasa melayu. Nah, itu mengurangi sifat Allah al-‘Alim,” ujar Kiai Cholil menjelaskan.
“Itulah delik menurut fatwa kriteria penodaan agama MUI termasuk penodaan agama kepada Allah SWT,” kata dia.
Selain beberapa poin yang disebutkan diatas, dalam sidang tersebut Kiai Cholil juga menyampaikan tentang perkataan Panji Gumilang yang menyebutkan bahwa masjid hanya ada di Vatikan, dan masjid di Indonesia hanya untuk orang-orang yang berputus asa.
Menurut Kiai Cholil, membanding-bandingkan tempat ibadah umat Islam merupakan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang pimpinan Pondok Pesantren. Hal ini tentu menambah deretan perkataan kontroversi Panji Gumilang.
“Membandingkan masjid (di Indonesia) dibandingkan dengan vatikan, itu adalah ungkapan yang kurang sopan, menyinggung orang Islam pastinya¸” ungkapnya.
Sebelumnya dalam sidang perdana terhadap pimpinan Al Zaytun itu, jaksa penuntut umum mengajukan dakwaan primer berkaitan dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang (UU) RI Nomor 1 Tahun 1946, mengenai menyiarkan berita bohong hingga sengaja menerbitkan keonaran di tengah masyarakat.
Untuk subsidernya berkaitan dengan Pasal 14 ayat (2) sama juga tentang berita bohong. Lebih subsider lagi Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar berlebihan dan tidak lengkap.
Selain itu, Tim JPU juga mendakwa Panji Gumilang dengan UU ITE yakni Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
“Di mana UU itu intinya adalah untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama ras antargolongan atau SARA.
Untuk dakwaan lainnya, yakni Pasal 156 Huruf (a) KUHP mengenai kesengajaan di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
(ameera/arrahmah.id)