BAMAKO (Arrahmah.id) — Misi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Mali secara resmi telah mengakhiri penempatannya selama 10 tahun di negara tersebut. Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB di Mali (MINUSMA), menurunkan bendera PBB di markas besarnya di Ibu Kota Bamako.
“Upacara simbolis tersebut menandai berakhirnya misi secara resmi, meskipun beberapa elemen di dalamnya masih ada,” ujar juru bicara MINUSMA, Fatoumata Kaba, dilaporkan Al Jazeera (11/12/2023).
Sebuah “fase likuidasi” akan berlangsung setelah 1 Januari 2024 yang melibatkan kegiatan seperti penyerahan peralatan yang tersisa kepada pihak berwenang.
Pada Juni 2023, pemerintah militer Mali, yang mengambil alih kekuasaan pada 2020, menuntut penghentian misi yang dikerahkan sejak 2013, meskipun sedang dilanda serangan oleh kelompok bersenjata di wilayah Sahel.
Penarikan pasukan MINUSMA telah memicu kekhawatiran bahwa pertempuran akan meningkat antara pasukan Mali dan kelompok bersenjata untuk menguasai wilayah. Misi tersebut telah mempertahankan sekitar 15.000 tentara dan polisi di Mali selama dekade terakhir. Sekitar 180 anggota telah terbunuh dalam tindakan permusuhan.
Hingga Jumat (8/12) lebih dari 10.500 personel MINUSMA berseragam dan sipil telah meninggalkan Mali, dari total sekitar 13.800 staf pada awal penarikan. MINUSMA telah meninggalkan 13 posisi di Mali dan belum menutup lokasi di Gao dan Timbuktu di utara.
Pekan lalu, misi PBB menyerahkan kamp Mopti di Mali tengah, salah satu pusat kekerasan yang telah melanda Sahel selama bertahun-tahun. Kamp Mopti baru-baru ini menampung pasukan penjaga perdamaian dari Bangladesh dan Togo, dan di masa lalu, menampung kontingen Mesir, Pakistan, dan Senegal.
“Penarikan tersebut berjalan lancar, tidak seperti penarikan baru-baru ini di wilayah utara Mali yang bergejolak, yang terjadi karena kekhawatiran akan peningkatan militer antara tentara dan kelompok pemberontak”, kata Kaba.
Pasukan PBB awalnya disambut oleh warga Mali yang berharap tentara asing tersebut dapat membantu militer Mali mengusir pemberontak yang telah merebut sebagian besar wilayah di utara.
Namun, sepuluh tahun kemudian, pasukan penjaga perdamaian meninggalkan negara tersebut begitu saja karena ketidakstabilan masih belum terselesaikan. Ribuan orang telah terbunuh, dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi akibat kekerasan tersebut.
Setelah merebut kekuasaan pada Agustus 2020 dengan alasan meningkatnya ketidakamanan, pemerintah Mali meninggalkan aliansi dengan bekas negara kolonial Prancis, dan lebih memilih pemulihan hubungan dengan Moskow dan kelompok tentara swasta Wagner Group. Pengambilalihan militer lainnya terjadi pada Mei 2021.
Kehadiran tentara swasta ini mendapat kecaman keras dari negara-negara Barat, yang berpendapat bahwa kehadiran Wagner mengancam stabilitas Mali. Moskow dan Bamako terus bersikeras bahwa para pejuang Rusia hanya pelatih yang membantu tentara lokal memerangi kelompok pemberontak. (hanoum/arrahmah.id)