(Arrahmah.id) – Musik adalah salah satu aspek penting dalam budaya dan identitas Palestina. Musik dapat menjadi cara untuk mengekspresikan diri, berkomunikasi, dan bersolidaritas. Musik juga dapat menjadi saksi dan dokumentasi dari sejarah dan konflik Palestina. Dalam artikel ini, saya akan menjelaskan tentang signifikansi musik dalam konteks Palestina, dengan mengutip beberapa referensi yang relevan.
Musik Palestina memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Musik Palestina dipengaruhi oleh berbagai tradisi musik dari Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, dan Asia. Musik Palestina juga mencerminkan berbagai latar belakang etnis, agama, dan sosial dari masyarakat Palestina. Musik Palestina dapat dibagi menjadi beberapa genre, seperti musik klasik Arab, musik rakyat, musik populer, musik religius, dan musik kontemporer (Anani 2013).
Musik Palestina juga memiliki peran politik yang signifikan. Musik Palestina sering digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan aspirasi, tuntutan, dan perlawanan rakyat Palestina terhadap penindasan dan pendudukan “Israel”. Musik Palestina juga menjadi simbol dari identitas nasional dan budaya Palestina yang terancam oleh kebijakan-kebijakan “Israel” yang bertujuan untuk menghapus jejak-jejak budaya Palestina dari lanskap (Falah 1996). Musik Palestina juga menjadi alat untuk mempertahankan kesatuan dan solidaritas di antara masyarakat Palestina yang terpecah-pecah oleh batas-batas geografis, politik, dan ekonomi (Massad 2003).
Beberapa contoh lagu yang menunjukkan signifikansi musik dalam konteks Palestina adalah sebagai berikut:
(1) “Mawtini” (Tanah Airku) adalah sebuah lagu yang dijadikan sebagai lagu kebangsaan tidak resmi oleh beberapa negara Arab, termasuk Palestina. Lagu ini diciptakan oleh seorang penyair Irak bernama Ibrahim Touqan pada tahun 1934 sebagai respons terhadap penjajahan Inggris di Irak. Lagu ini kemudian diadaptasi oleh seorang komposer Lebanon bernama Muhammad Fulayfil pada tahun 1936. Lagu ini menggambarkan rasa cinta dan kesetiaan terhadap tanah air, serta tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan martabat (Ita 1985).
(2) “Zareef Al Tool” (Tinggi dan Tampan) adalah sebuah lagu rakyat Palestina yang berasal dari daerah Galilea. Lagu ini menceritakan tentang seorang pemuda yang mencintai seorang gadis dari desa tetangga, tetapi tidak dapat menikahinya karena perbedaan agama. Lagu ini menggambarkan keindahan alam dan kehidupan desa di Galilea, serta kesedihan dan kerinduan akibat cinta yang tidak terbalas (Massad 2003).
(3) “Biladi” (Negeriku) adalah sebuah lagu populer yang diciptakan oleh seorang seniman Palestina bernama Mustafa Al Kurd pada tahun 1974. Lagu ini menjadi lagu tema dari film dokumenter “Palestine in the Eye” yang disutradarai oleh seorang sutradara Palestina bernama Mustafa Abu Ali pada tahun 1976. Film ini menggambarkan kondisi masyarakat Palestina di kamp-kamp pengungsian setelah perang 1948. Lagu ini mengekspresikan rasa bangga dan harapan terhadap tanah air yang hilang, serta keinginan untuk kembali dan membebaskan tanah air dari pendudukan Israel (Massad 2003).
(4) “Al Quds Al Atiqa” (Yerusalem Kuno) adalah sebuah lagu religius yang diciptakan oleh seorang seniman Palestina bernama Fairuz pada tahun 1971. Lagu ini merupakan bagian dari album “Al Quds fi Al Bal” (Yerusalem dalam Hati) yang didedikasikan untuk kota Yerusalem yang dianggap sebagai kota suci oleh tiga agama monoteis besar, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Lagu ini menggambarkan keagungan dan kemuliaan kota Yerusalem, serta doa dan harapan untuk perdamaian dan keadilan di kota tersebut (Massad 2003).
(5) “Ana Hurra” (Saya Bebas) adalah sebuah lagu kontemporer yang diciptakan oleh seorang seniman Palestina bernama Rim Banna pada tahun 2005. Lagu ini merupakan bagian dari album “The Mirrors of My Soul” yang menggabungkan unsur-unsur musik tradisional dan modern. Lagu ini menggambarkan perjuangan dan penderitaan seorang wanita Palestina yang hidup di bawah pendudukan “Israel”, tetapi tetap memiliki semangat dan keberanian untuk melawan dan menuntut hak-haknya sebagai manusia (Anani 2013).
Dari beberapa contoh lagu di atas, dapat dilihat bahwa musik memiliki signifikansi yang besar dalam konteks Palestina. Musik tidak hanya menjadi hiburan atau seni, tetapi juga menjadi ekspresi, komunikasi, dan resistensi. Musik juga menjadi saksi dan dokumentasi dari sejarah dan konflik Palestina. Musik juga menjadi simbol dan alat dari identitas dan budaya Palestina.
We Will Not Go Down
Lagu “We Will Not Go Down” adalah sebuah lagu revolusioner yang ditulis dan dinyanyikan oleh Michael Heart, seorang penyanyi kelahiran Suriah yang tinggal di Amerika Serikat. Lagu ini dirilis pada Januari 2009 sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap rakyat Palestina yang mengalami penderitaan akibat perang Gaza 2008-2009. Perang ini menewaskan lebih dari 1.400 orang Palestina, sebagian besar adalah warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak .
Lagu ini menggambarkan situasi mengerikan yang dialami oleh penduduk Gaza yang harus berlindung dari serangan tank dan pesawat “Israel” yang membakar rumah, masjid, dan sekolah mereka. Namun, lagu ini juga menunjukkan semangat perlawanan dan keteguhan hati rakyat Gaza yang tidak akan menyerah dan tidak akan hilang. Lagu ini memiliki lirik yang mengharukan dan musik yang menggugah, sehingga berhasil menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia.
Lagu “We Will Not Go Down” menjadi viral di media sosial dan mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan, baik dari masyarakat sipil, aktivis, maupun tokoh-tokoh publik. Lagu ini juga menjadi lagu tema protes terhadap agresi “Israel” di berbagai negara. Lagu ini berfungsi sebagai cara untuk mengingatkan dunia atas penderitaan yang dialami oleh penduduk Gaza dan pentingnya upaya untuk mencapai perdamaian dan keadilan .
Seni Perlawanan
Seni adalah salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Palestina terhadap penindasan dan pendudukan “Israel”. Seni dapat menjadi cara untuk menantang dan mengkritik kekuasaan, untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan, untuk menginspirasi dan memobilisasi perjuangan, dan untuk melestarikan dan mengembangkan identitas dan budaya. Dalam artikel ini, saya akan menjelaskan tentang peran seni dalam resistensi Palestina, dengan mengutip beberapa referensi yang relevan.
Seni Palestina memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Seni Palestina dipengaruhi oleh berbagai tradisi seni dari Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, dan Asia. Seni Palestina juga mencerminkan berbagai latar belakang etnis, agama, dan sosial dari masyarakat Palestina. Seni Palestina dapat dibagi menjadi beberapa genre, seperti seni rupa, seni sastra, seni musik, seni teater, seni film, dan seni kontemporer (Anani 2013).
Seni Palestina juga memiliki peran politik yang signifikan. Seni Palestina sering digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, berkomunikasi, dan bersolidaritas. Seni Palestina juga menjadi simbol dari identitas nasional dan budaya Palestina yang terancam oleh kebijakan-kebijakan Israel yang bertujuan untuk menghapus jejak-jejak budaya Palestina dari lanskap (Falah 1996). Seni Palestina juga menjadi alat untuk mempertahankan kesatuan dan solidaritas di antara masyarakat Palestina yang terpecah-pecah oleh batas-batas geografis, politik, dan ekonomi (Massad 2003). Beberapa contoh film yang menunjukkan peran seni dalam resistensi Palestina adalah sebagai berikut:
(1) “The Battle of Algiers” adalah sebuah film yang disutradarai oleh seorang sutradara Italia bernama Gillo Pontecorvo pada tahun 1966. Film ini menceritakan tentang perjuangan rakyat Aljazair untuk memerdekakan diri dari penjajahan Prancis pada tahun 1954-1962. Film ini menjadi inspirasi bagi banyak gerakan pembebasan nasional di dunia, termasuk gerakan nasionalis Palestina. Film ini juga menjadi salah satu film favorit dari pemimpin-pemimpin Palestina seperti Yasser Arafat dan George Habash (Rogan dan Shlaim 2001).
(2) “Men in the Sun” adalah sebuah novel yang ditulis oleh seorang penulis Palestina bernama Ghassan Kanafani pada tahun 1962. Novel ini menceritakan tentang tiga orang pengungsi Palestina yang mencoba untuk menyelundup ke Kuwait dengan menggunakan sebuah truk tangki minyak. Novel ini menggambarkan penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh para pengungsi Palestina akibat perang 1948. Novel ini juga mengkritik sikap pasif dan apatis dari sebagian masyarakat Arab terhadap nasib rakyat Palestina (Shemesh 2004).
(3) “Handala” adalah sebuah karakter kartun yang diciptakan oleh seorang kartunis Palestina bernama Naji Al Ali pada tahun 1969. Karakter ini digambarkan sebagai seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang selalu membelakangi penonton dengan rambut kusut dan kaki telanjang. Karakter ini melambangkan rakyat Palestina yang hidup dalam kemiskinan, pengungsian, dan penindasan. Karakter ini juga melambangkan sikap kritis dan menantang terhadap keadaan yang tidak adil (Fisher 2009).
(4) “Palestine c/o Venice” adalah sebuah pameran seni kontemporer Palestina yang diadakan di Venice Biennale pada tahun 2009. Pameran ini menampilkan karya-karya seniman-seniman Palestina yang berasal dari berbagai wilayah seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Israel, dan diaspora. Pameran ini menggambarkan berbagai tema seperti identitas, diaspora, trauma, dan resistensi. Pameran ini juga membahas tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh seniman-seniman Palestina dalam menghadirkan karya-karya mereka di arena
internasional, seperti masalah akses, sirkulasi, dan representasi (Fisher 2009).
(5) “Mural of Resistance” adalah sebuah karya seni rupa yang dibuat oleh seorang seniman Palestina bernama Khaled Jarrar pada tahun 2011. Karya ini berupa sebuah mural yang dibuat di atas tembok pemisah yang dibangun oleh Israel di Tepi Barat. Mural ini menggambarkan sebuah peta Palestina yang terdiri dari cap-cap stempel yang dibuat oleh seniman dengan menggunakan paspor-paspor Palestina. Mural ini mengekspresikan rasa bangga dan harapan terhadap tanah air yang hilang, serta keinginan untuk bebas dan bergerak tanpa batas (Anani 2013).
Dari beberapa contoh seni di atas, dapat dilihat bahwa seni memiliki peran yang besar dalam resistensi Palestina. Seni tidak hanya menjadi hiburan atau seni, tetapi juga menjadi ekspresi, komunikasi, dan resistensi. Seni juga menjadi saksi dan dokumentasi dari sejarah dan konflik Palestina. Seni juga menjadi simbol dan alat dari identitas dan budaya Palestina.***
*Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh adalah antropolog lulusan Universitas Indonesia (2023) yang kini bertugas sebagai dosen pada Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Lahir di Lhokseumawe, 22 November 1969. Menulis buku Pemikiran Politik SM Kartosoewirjo (2000) dan Aceh Bersimbah Darah (1998). Kini sedang berada di Leiden, Belanda, meneliti tentang nomokrasi dalam konstitusi Darul Islam Indonesia dan Imarah Islam Afghanistan.