Yogyakarta (Arrahmah.Com) – Aparat hukum Indonesia akan segera mengeksekusi terpidana Bom Bali I: Amrozy, Ali Ghufran, dan Imam Samudera, yang terjadi tanggal 12 Oktober 2002, dan menewaskan 202 orang yang sebagian besar adalah turis warga negara Australia. Majelis Mujahidin berkeyakinan, eksekusi mati terhadap ketiga terpidana tersebut, tidak akan terlaksana kecuali ditakdirkan Allah Swt.
Akan tetapi beredarnya isu yang memprovokasi umat Islam untuk melakukan pembalasan terhadap para eksekutor terpidana, bahkan diserukan untuk membunuh presiden dan wakil presiden RI, maka Majelis Mujahidin perlu menyikapi kasus ini secara obyektif tanpa terprovokasi oleh emosi massa ataupun pengaruh politik penguasa.
Pertama, misteri pelaku Bombing yang berkekuatan dahsyat itu, -yang oleh TPM dan investigator bom Bali I diyakini bukan buatan Amrozi, cs- justru mendapatkan jawaban sebaliknya dari para pelaku. Bahwa bom yang mereka buat ternyata telah memberikan efek begitu dahsyat di luar perkiraan, yang diyakini sebagai ‘tangan malaikat’ ikut bermain. Akibatnya, sebagian masyarakat melakukan berbagai analisis bahwa para pelaku telah digalang oleh agen musuh-musuh Islam untuk mendiskreditkan Islam di Indonesia. Adanya pendapat yang saling bertentangan, termasuk perubahan sikap pelaku dan perakit Bom Bali I, Ali Imron yang mengecam peristiwa tersebut, telah menjadikan peristiwa bom yang diyakini sebagai jihad oleh para pelakunya itu sebagai fitnah bagi umat Islam, yang dampaknya dapat melemahkan kesatuan umat Islam Indonesia. Sekiranya para pelaku Bom Bali I mengungkapkan secara terus terang di depan pengadilan dengan fakta apa adanya sesuai racikan bom yang mereka buat itu, barangkali pengadilan dan opini dunia internasional akan dengan mudah melakukan pembuktian bom yang mana yang diledakkan oleh Amrozi cs.
Kedua, adalah kewajiban pemerintah untuk menguak aktor intelektual peledakan Bom Bali I, dengan melakukan investigasi secara tuntas. Tapi sikap pemerintah justru menunjukkan rasa tidak bertanggungjawab terhadap keselamatan bangsa dan negara dari ancaman musuh-musuh rakyat Indonesia. Bila pemerintah sekadar mengadili para pelaku dan menghukum mati mereka, tetapi bungkam terhadap pencarian aktor intelektualnya membuktikan bahwa pemerintah sendiri ikut terlibat dalam melaksanakan fitnah terhadap bangsa dan rakyatnya. Maka menjatuhkan vonis dan kemudian melaksanakan eksekusi mati terhadap pelaku merupakan kezaliman pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Ketiga, para ulama dan tokoh-tokoh ormas Islam yang gemar menyebut dirinya sebagai Islam moderat haruslah bersikap adil dan bertanggung jawab. Tidak mengeluarkan statemen yang justru memosisikan diri sebagai musuh bagi terpidana, atau mengesankan adanya pertentangan kepentingan dan ideologi yang digerakkan, baik oleh kekuatan-kekuatan asing maupun hanya sekedar menjadi terompet penguasa. Sikap apriori dan provokatif seperti itu menunjukkan kelemahan dalam membaca peta ideologi dan makar politik dari musuh-musuh Islam.
Keempat, menghadapi ancaman eksekusi mati dari penguasa – yang dinilai sebagai penguasa thaghut oleh para terpidana- sebaiknya bersikap sabar dan ikhlas dan menggantungkan segala harapan hanya kepada Allah Swt saja. Pernyataan maaf para terpidana terhadap rakyat Indonesia dan umat Islam, yang disampaikan secara terbuka, baik langsung maupun melalui keluarga dan kuasa hukumnya, merupakan sikap positif dan bertanggungjawab atas kekhilafan yang diakuinya sendiri. Maka tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang bersifat ancaman atau hasutan, apalagi melakukan negosiasi politik maupun hukum yang hanya akan membingungkan umat Islam dan mencederai sikap istiqamah di atas jalan Allah.
Kelima, kita berharap semoga perjuangan yang dilakukan para terpidana diawali dengan niat yang benar; sehingga pernyataan maafnya diterima oleh Allah Swt. Dan kita berdo’a semoga perjuangan yang dilakukan termasuk jihad serta pengorbanannya bernilai syahid di hadapan Allah Swt.
Demikian pernyataan sikap sekaligus himbauan kepada seluruh anggota Majelis Mujahidin agar tidak mudah terprovokasi, dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan syari’at Islam menghadapi eksekusi mati saudara Muslim ini.
Jogjakarta, 7 Dzulqa’dah 1429 H/ 5 November 2008 M
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin