HEBRON (Arrahmah.id) — Beberapa hari yang lalu, Hazem al-Fakhouri menerima telepon yang mengkhawatirkan dari pengacaranya, Hassan Abadi, yang memberitahukan bahwa dia telah mengunjungi istrinya, penulis Lama Khater, di penjara Israel.
Kabar yang dibawakan pengacara itu tidak bagus. Kunjungan Abadi ke Khater (46) yang baru saja dipenjara, mengungkapkan perlakuan buruk yang dialaminya dan tahanan wanita lainnya, di penjara sejak penangkapannya hingga sekarang.
Dilansir Middle East Eye (8/11/2023), Khater ditangkap dari rumahnya di kota Hebron, Tepi Barat, yang diduduki pada tanggal 26 Oktober sebagai bagian dari kampanye penangkapan besar-besaran yang menargetkan sejumlah besar warga Palestina, termasuk empat wanita, pada hari itu.
Setelah kelompok perlawanan Palestina Hamas melakukan serangan mendadak di kota-kota Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, Israel melancarkan kampanye penangkapan besar-besaran di Tepi Barat. Tak kurang lebih dari 2.000 warga Palestina ditangkap, termasuk mantan tahanan perempuan, mahasiswi, pelajar, dan istri narapidana.
Menurut Abadi para tahanan perempuan diancam akan diperkosa dan mereka akan dibiarkan kebijakan kelaparan di penjara.
“Di sana, dia (ket: Khater) diancam akan diperkosa oleh tentara yang mengatakan kepadanya. ‘Kami ada 20 tentara dan kami dapat melakukan apa pun yang kami inginkan kepada Anda. Anda adalah tawanan perang kami,’” kata Abadi pada suami Hater, dikutip dari Middle East Eye.
Namun ancaman tersebut hanyalah permulaan. Khater dianiaya dan diperlakukan dengan kasar. Selain disiksa dia juga ditelanjangi penuh.
“Untuk pertama kalinya ketika saya mengunjungi tahanan perempuan, mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka dibiarkan kelaparan,” kata Abadi.
“Khater juga mengatakan kepada saya bahwa mereka tidur di lantai tanpa kasur dan tidak memiliki pakaian atau selimut tambahan.”
Pada tanggal 27 Oktober, pasukan Israel menyerbu Penjara Damon, tempat tahanan perempuan Palestina ditahan, dan tanpa alasan menyerang mereka serta menembakkan bom gas ke dalam kamar mereka, memukuli tiga dari mereka, dan mengurung yang lainnya di sel isolasi, kata pengacara tersebut.
Selain itu, pihak administrasi penjara melarang narapidana meninggalkan kamar mereka dan berpindah antar bagian, serta membatasi kunjungan ke kamar mandi hanya 15 menit sehari untuk setiap sel, yang berisi lebih dari tujuh tahanan.
“Sejak tanggal 7 Oktober, saya telah mengunjungi banyak tahanan perempuan, beberapa di antaranya terluka atau sakit. Sayangnya, hak mereka untuk mendapatkan pengobatan tidak diberikan dan tidak dapat dipindahkan ke klinik medis atau mengunjungi dokter,” kata pengacara tersebut.
Di antara para tahanan tersebut, tambahnya, adalah Suhair al-Barghouti (65) yang dikenal sebagai Um Asif, yang ditahan pada hari yang sama dengan Khater.
Barghouti menderita tekanan darah tinggi dan diabetes, serta menjalani operasi jantung tiga tahun lalu. Sejak penangkapannya, kata pengacara, otoritas penjara tidak mengizinkannya mengakses pengobatan.
“Selama bertahun-tahun saya menjadi pengacara, ini pertama kalinya saya melaporkan penganiayaan terhadap tahanan perempuan,” kata Abadi.
Suami Khater, Fakhouri, mengatakan kepada MEE bahwa dia tidak terlalu terkejut dengan apa yang dikatakan pengacara kepadanya, karena penganiayaan terhadap istrinya dimulai sejak rumahnya diserbu.
“Para tentara mulai menghinanya dan mengancam akan membunuh kelima anak kami dan memenggal kepala mereka,” katanya.
Setelah memberitahunya bahwa dia ditahan, mereka menolak mengizinkannya menggunakan kamar mandi atau membawa pakaian tambahan.
Hingga saat ini, Khater belum diperbolehkan berbicara dengan keluarganya melalui telepon. Dia masih menunggu sidang baru yang mungkin akan memindahkannya ke penahanan administratif tanpa dakwaan, yang akan diperbarui segera setelah masa hukumannya berakhir.
“Para prajurit sangat arogan dan berbicara kepada kami dengan cara yang biadab. Mereka mengikat tangannya erat-erat di dalam rumah dan dengan kasar menyeretnya,” kata Fakhouri.
Anak-anak pasangan tersebut terus-menerus menangis sejak penangkapannya, kata Fakhouri, terutama putra bungsu mereka, Yahya yang berusia tujuh tahun, yang sangat dekat dengannya.
Fakhouri tidak memberi tahu mereka tentang kondisi penahanan ibu mereka, hanya meyakinkan mereka bahwa ibu mereka baik-baik saja dan merindukan mereka.
Namun, seminggu setelah penangkapannya, tentara Israel sekali lagi menyerbu rumah Khater dengan dalih mencari telepon genggamnya, meskipun mereka telah menyitanya ketika mereka menahannya.
Mereka mengikat suaminya, melemparkannya ke tanah, mengurung anak-anaknya di kamar mandi dan menutupnya, lalu mulai merusak rumah.
“Itu bukan penggeledahan. Itu sabotase total. Mereka memecahkan jendela dan pintu. Mereka mencabut tanaman dari pekarangan rumah dan balkon. Mereka menghancurkan perabotan dan mencuri 5.000 shekel ($1.300).
“Itu bukan penyitaan, tapi pencurian, karena saya mengetahuinya setelah mereka pergi. Mereka bahkan membuka dompet putri saya dan mencuri uang. Mereka menyita ponsel dan laptop putra saya.
“Tentara juga mengancam akan membakar rumah kami. Perwira Israel mengatakan kepada saya bahwa kami berada di bawah kekuasaan militer sekarang dan mereka akan melakukan apa pun yang mereka inginkan terhadap kami. Dia mengatakan kepada saya, ‘Saya akan menghancurkan rumahmu dan membangun vila saya di tempatnya’.”
Keluarga tersebut menerima telepon dari perwakilan PBB di Palestina dan dari kedutaan besar Norwegia dan Swedia untuk membuka penyelidikan atas ancaman terhadap Khater. Fakhouri berharap hal ini dapat meringankan penderitaan yang dialami para narapidana perempuan.
Ini merupakan penangkapan kedua bagi Khater. Pada tahun 2018, dia ditangkap selama setahun penuh atas tuduhan penghasutan dan tulisan yang dianggap bermusuhan dengan Israel.
Beberapa hari sebelum pembebasannya, putra sulungnya, Osama, ditangkap saat belajar di Universitas Birzeit pada tahun 2019, dan menghabiskan 22 bulan di penjara Israel.
Lebih dari 2.280 warga Palestina, termasuk lebih dari 75 perempuan, telah ditangkap sejak Israel memulai tindakan kerasnya terhadap warga Palestina di Tepi Barat setelah 7 Oktober. Beberapa dari mereka telah dibebaskan dengan syarat atau setelah kerabat mereka menyerahkan diri.
Terdapat 65 tahanan perempuan, termasuk lansia dan anak di bawah umur, yang saat ini ditahan di penjara Israel.
Lembaga-lembaga yang peduli dengan urusan tahanan Palestina telah mendokumentasikan perlakuan kasar yang dialami tahanan perempuan Palestina setelah penangkapan mereka.
Amani al-Sarahna, juru bicara Klub Tahanan Palestina, mengatakan kepada MEE bahwa telah terjadi titik balik besar dalam perlakuan terhadap tahanan perempuan, yang ditandai dengan penganiayaan, pemukulan, kelaparan, perampasan kebutuhan dasar, dan ancaman terus-menerus.
Dia mengatakan bahwa Israel memberikan begitu banyak tekanan terhadap tahanan perempuan sehingga tampaknya “tidak ada lagi garis merah”.
“Di antara kesaksian yang kami dokumentasikan adalah Aisha Abu Jahisha, 68 tahun, dari Idna, sebelah barat Hebron, yang ditangkap sebagai sandera untuk menekan kelima putranya agar menyerahkan diri,” kata Sarahna.
“Aisha menjadi sasaran perlakuan yang mengerikan, karena dia diikat selama berjam-jam dan bahkan dilarang minum air.”
Tentara Israel menangkapnya pada tanggal 31 Oktober dari rumahnya pada pukul 3 pagi. Selama penahanannya, dia diinterogasi mengenai putra-putranya dan diancam bahwa jika mereka tidak menyerahkan diri, mereka akan dibunuh.
Selama penahanannya, yang berlangsung hingga pukul 22.30, tentara hanya mengizinkan dia minum air satu kali, meskipun dia menderita diabetes dan tekanan darah tinggi.
“Kasus ini mengungkap lebih banyak kepada kita kekejaman yang dilakukan oleh tentara terhadap tahanan perempuan. Ada kejahatan yang dilakukan terhadap mereka tanpa alasan apapun, hanya demi balas dendam dan pelecehan,” kata Sarahna. (hanoum/arrahmah.id)