JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dinilai melanggar etik dan perilaku seorang hakim dalam memutuskan perkara batas usia calon presiden dan wakil presiden. Penilaian tersebut disampaikan pakar hukum dari Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto.
“Setidaknya ada tiga prinsip yang telah dilanggar oleh Ketua MK Anwar Usman . Pelanggaran ini mestinya ditelaah oleh MKMK (Majelis Kehormatan MK) dan jika ditemukan ada pelanggaran etik, maka harus diberhentikan,” kata Aan, Jumat (27/10/2023), lansir Sindonews.com.
Menurut Aan, banyak masalah etik dan perilaku hakim yang dilanggar oleh Anwar Usman dalam proses pengambilan keputusan batas usia capres dan cawapres yang tadinya berusia minimal 40 tahun menjadi berusia paling rendah 40 tahun ataupernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan MK tersebut membuka peluang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang baru berusia 36 tahun bisa maju menjadi cawapres.
“Pertama adalah prinsip imparsialitas. Di mana hakim tidak bisa menjaga mana ranah pribadi dan konstitusi. Sehingga keputusannya berpengaruh terhadap individu dan keluarganya,” kata dia.
Kedua, lanjutnya, adalah soal prosedur. Perkara tersebut telah dicabut, namun pada akhirnya dimasukkan kembali. Ketiga, terkait penyimpulan putusan yang terjadi perbedaan amar putusan antar hakim.
Dia menduga ada pelanggaran proses putusan pada perkara tersebut. Kendati Ketua MK dianggap melanggar etik, Aan menilai terkait hasil putusan uji materi usia capres-cawapres telah final dan mengikat, sehingga secara hukum sah dan bisa langsung dipergunakan.
Putusan soal batas usia capres-cawapres hanya bisa direvisi jika ada pihak yang melakukan gugatan kembali kepada MK.
“Ke depannya, ini menjadi pelajaran bagi MK. Jika ada perkara menyangkut open legal policy, maka itu menjadi ranah legislatif dan presiden. Mestinya bukan MK yang menentukan,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)