JAKARTA (Arrahmah.com) – Pencekalan Kejaksaan Agung RI terhadap sembilan buku Islam, termasuk buku Tafsir Al-Qur’an, merupakan tindakan represif yang menghalangi pencerdasan umat. Bahkan hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintah melakukan peperangan ilmiah terhadap umat Islam.
Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI mencekal 9 judul buku Islam yang dinilai beraliran radikal dan menyimpang dari ajaran agama Islam. Buku-buku tersebut dituding menciptakan bentuk-bentuk pemikiran terorisme bagi pembacanya. Sebagai kelanjutan pencekalan tersebut, Kejaksaan Negeri Tanjungbalai Karimun melakukan inspeksi mendadak (sidak) di sejumlah toko buku di Tanjungbalai Karimun.
Di antara sembilan buku yang dicekal Kejagung itu termasuk buku berjudul “Catatan dari Penjara: Untuk Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam” terbitan Mushaf, Depok Jawa Barat, 2008. Buku setebal 291 halaman ini ditulis oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dari dalam penjara Cipinang, berisi rangkuman materi pengajaran Islam yang telah bertahun-tahun disampaikannya di berbagai tempat, baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam buku yang dilengkapi dengan biografi singkat Ustadz Abu tersebut, pembaca bisa menilai secara objektif, bagaimana sebenarnya pemahaman Islam Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Menanggapi pencekalan terhadap buku karyanya, Ustadz Abu mengecam pemerintah sebagai penguasa zalim yang memusuhi Islam. Karenanya, umat Islam harus melakukan perlawanan terhadap kezaliman penguasa yang mencekal buku Islam itu.
“Itu harus dilawan! ini bukti bahwa pemerintah Yudhoyono berpihak kepada musuh Islam untuk memerangi Islam. Ini bukti bahwa pemerintah Yudhoyono di pihak kafir untuk memerangi Islam,” tegasnya saat ditemui di sel Bareskrim Mabes Polri, Jum’at (28/10/2011), seperti yang dikutip voa-Islam.com.
Ustadz Abu mengkhawatirkan, jika sekarang buku-buku seperti Tafsir Al-Qur’an dilarang, maka bisa jadi suatu saat kitab suci Al-Qur’an pun akan dilarang. Menanggapi hal tersebut, Ustadz Abu mengimbau para muballigh dan ulama agar berani melawan atas pelarangan buku-buku tersebut.
“Kalau buku-buku itu dilarang, lama-lama membaca Al-Qur’an pun dilarang. Jadi muballigh-muballigh dan ulama harus berani melawan mengenai pelarangan buku itu. Itu satu bukti konkret bahwa thaghut Yudhoyono mempunyai niat untuk memerangi Islam, membantu orang-orang kafir, orang-orang Amerika,” tutupnya.
Senada itu, Direktur JAT Media Center (JMC) Ustadz Son Hadi mempertanyakan atas dasar apa pencekalan buku-buku tersebut. Pencekalan ini akan sangat berbahaya jika terus berlangsung.
“Apa dasar pencekalan itu? kan sudah tidak zamannya lagi cekal-mencekal. Mestinya kalau ada yang salah dari buku itu dibedah, diurai, apa sebenarnya yang menjadi masalah. Ini menunjukkan bahwa tindakan represif intelektual sudah dimulai, dan kalau ini dimulai makan akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Kalau sampai pemikiran-pemikiran ini dibatasi lantas pencerdasan apa yang akan diberikan kepada umat,” jelasnya kepada voa-islam.com, Jum’at (28/10/2011).
Menurut Son Hadi, jika pencekalan ini merupakan bagian dari pelaksanaan UU Intelijen yang baru saja disahkan, maka negeri ini berada dalam bahaya. Karena pencekalan terhadap upaya pencerdasan umat berarti pembodohan suatu bangsa.
“Buku itu merupakan sarana pencerdasan. Apakah ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Intelijen? Kalau memang benar, betapa berbahaya negeri ini ketika karya-karya intelektual, pokok-pokok pemikiran yang berkenaan dengan khazanah keislaman itu dibatasi,” ujarnya.
Son Hadi berpendapat tindakan pemerintah yang represif terhadap buku-buku ilmiah, sebagai kekejaman yang lebih berbahaya daripada rezim represif Orde Baru.
“Nantinya akan terjadi suatu pembodohan yang luar biasa, dan inilah rezim yang amat sangat represif. Ini membahayakan karya-karya intelektual yang lebih kejam daripada orde Baru!” imbuh Son Hadi.
Sementara itu, Tim Pembela Muslim berencana melayangkan gugatan ke Kejaksaan Agung karena institusi pimpinan Basrief Arief tersebut melarang peredaran buku dakwah karya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir berjudul Catatan dari Penjara. TPM menilai pelarangan tersebut tidak berdasar.
“Dulu memang pernah ada UU yang memberi kewenangan kejaksaan untuk melarang atau menyensor barang cetakan, seperti buku. Tetapi UU tersebut telah dicabut Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2010 lalu,” kata Ketua Dewan Pembina TPM, M Mahendratta yang juga pengacara Ba’asyir, Jumat (28/10) seperti yang dikutip vivaNews.com.
Mahendratta mengaku dapat laporan masyarakat dari Tanjung Balai Karimun, Depok, Sukabumi, dan Lampung bahwa kejaksaan negeri setempat melakukan sweeping buku Ba’asyir.
“Kalau di Sukabumi para pedagang diminta membuat pernyataan tidak akan menjual buku-buku tersebut,” kata Mahendratta.
TPM mendesak Kejagung untuk menghentikan pelarangan peredaran buku tersebut. Apabila tidak diindahkan, TPM menyiapkan kelengkapan alat bukti untuk melayangkan gugatan. (dbs/arrahmah.com)