Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Gema Pilpres telah terdengar dengan gemuruh. Meskipun tahun depan baru akan diselenggarakan, akan tetapi persaingan kian terasa memanas. Diketahui bahwa ada tiga kandidat kuat yang akan memperebutkan kursi nomor satu di Indonesia. Berbagai macam atribut kampanye pun sudah terlihat di berbagai tempat. Dukungan dari berbagai parpol dan masyarakat kian gencar. Tak ayal, kampanye hitam pun mulai berhembus di media sosial.
Di tengah suhu panas perebutan kursi kekuasaan Capres dan Cawapres tahun 2024, Menteri Agama Yakut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang menjadikan agama sebagai alat politik dalam memperoleh kekuasaan. “Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil Islam,” katanya. Menag mengatakan, pemimpin ideal harus mampu menjadi rahmat semua golongan. (republika.co.id, 3 September 2023)
Pernyataan yang disampaikan Menag di depan khalayak ramai tersebut, dinilai akan memancing kericuhan. Sebagaimana yang disampaikan pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan jangan sampai pernyataan Menag justru memicu perpecahan di antara masyarakat. Selayaknya sebagai pejabat publik, tidak membuat deklarasi kontradiktif yang bisa menyulut pertentangan. Dengan hal tersebut, akan berpotensi memicu munculnya politik identitas yang saat ini sudah menurun dibanding pilpres 2019 lalu. (republika.co.id, 5 September 2023)
Islam Jadi Tertuduh
Apa disampaikan Menag bahwa agama jangan dijadikan alat politik, sangat jelas merujuk pada Islam. Seolah-olah Islam merupakan agama yang buruk dan menjadi musuh bersama, seandainya Islam berdampingan dengan politik dan pemerintah. Bukan kali ini saja pernyataan yang menuai kontoversi ini diucapkan oleh pejabat publik. Sekelas tokoh agama pun pernah mengatakan agar tidak membawa-bawa agama (Islam) di kancah perpolitikan. Seruan tolak politisasi agama sering disampaikan pada masyarakat, terutama menjelang Pilpres.
Begitu juga dengan yang disampaikan Menag terkait Islam rahmatan lil ‘alamin. Hal tersebut jelas keliru. Sebab, Islam dengan segala aturan yang bersumber dari Allah Ta’ala tentu akan membawa kebahagiaan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh mahluk di muka bumi tanpa memandang agama dan golongan. Jika Menag mengatakan seperti itu, maka akan berbahaya dan menyudutkan Islam juga ajarannya. Seakan jika Islam berdampingan dengan politik akan membawa hawa negatif dalam mengatur urusan pemerintahan.
Sekulerisme memisahkan agama dan politik
Sudah sejak lama upaya memisahkan agama dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi terus dikemukakan, terutama oleh mereka yang menjadi pejabat publik dan berpengaruh dalam masyarakat. Agama itu suci, sedangkan politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, maka otomatis akan mengotori agama. Itulah perkataan yang terlontar dari mulut mereka. Secara tidak langsung dikatakan bahwa, Islam bukanlah agama politik melainkan agama ibadah dan akhlak saja.
Menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Hal itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Dikatakan politisasi agama yakni, agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek dalam memenangkan kontes pemilu. Pasca pemilu usai, agama kemudian ditinggalkan sejauh-jauhnya. Justru hal inilah yang terjadi, para elit politik cenderung mendadak menjadi ‘Islami’ menjelang pemilihan. Mulai dari berpakaian, salat berjamaah keliling, blusukan ke pesantren-pesantren, kunjungan pada majelis-majelis ta’lim, dan lain-lain. Akan tetapi, semua yang berbau Islam setelah pemilu selesai maka akan ditinggalkan. Mereka tetap menolak Islam sebagai dasar pangaturan politik dengan berbagai dalih.
Politisasi agama merupakan buah dari sistem Sekulerisme Liberal yang rusak. Sebab politik hanya ditunjukkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan. Dalam politik saat ini, sikap pragmatis dan menghalalkan segala cara termasuk politisasi agama tidak dapat dipisahkan. Selama ada manfaat di dalamnya, maka hal itu akan ditempuh.
Islam Mengatur Politik
Politik, Islam, dan kekuasaan merupakan hal yang tak terpisahkan. Dalam Islam politik bukanlah suatu hal yang kotor, karena tidak indentik dengan perebutan kekuasaan dan kedudukan. Pengertian politik dalam Islam sebagaimana disebutkan dalam buku As-Siyasah wa As-Siyasah Ad-Duwaliyyah karya Samih ‘Athif (1987:31), bahwa politik merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran, dan membimbing menuju kebaikan.
Karena itu, politik dalam Islam bertujuan mulia dengan dua alasan. Pertama, Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Bukan hanya mengatur perkara ibadah ritual, moralitas (akhlak), atau persoalan-persoalan individual. Lebih dari itu, syariah Islam juga mengatur muamalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dan lainnya. Islam pun mengatur uqubat (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam.
Kedua, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika mengatur urusan umat di Madinah merupakan bukti nyata bahwa agama (Islam) dan politik tidak terpisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah sebagai kepala negara, qadhi (hakim), dan panglima perang. Tidak sampai di situ, beliau juga mengatur keuangan Baitulmal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah.
Dengan dua tujuan di atas, secara langsung akan mendapatkan pemimpin yang mampu dan bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kepentingan masyarakat. Pemimpin yang dinaungi aturan Islam tahu betul bahwa agama tidak boleh dipisahkan dari politik dan kekuasaan. Sebab keduanya (agama dan kekuasaan) ibarat saudara kembar, di mana agama sebagai pondasi (asas) dan kekuasaan sebagai penjaganya. Segala sesuatu yang tidak mempunyai pondasi dan penjagaan, maka akan musnah. Begitu juga dengan kehidupan manusia akan mengalami kerusakan, dikarenakan tidak bersandar pada hukum Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat meluruskan pandangan terkait politik dan kepemimpinan/kekuasaan. Dalam memilih pemimpin amanah, bukan sekadar saleh secara personal. Melainkan harus juga menciptakan kesalehan masyarakat secara menyeluruh. Ia akan mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara dengan aturan Sang Pencipta, Allah Rabbul Izzati Bahkan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga terwujud rahmat bagi seluruh alam.
Wallahua’lam bish shawab.