MARRAKESH (Arrahmah.id) – Penduduk desa di beberapa daerah paling terpencil yang terkena dampak gempa bumi Maroko masih tinggal di tenda-tenda darurat dan mengandalkan keledai untuk membawa perbekalan penting pada Kamis (14/9/2023) sambil menunggu bantuan negara mencapai mereka hampir sepekan setelah bencana.
Gempa berkekuatan 6,8 skala Richter yang melanda Pegunungan High Atlas pada 8 September menewaskan 2.946 orang dan melukai 5.674 orang, menurut angka resmi terbaru, menjadikannya gempa paling mematikan di Maroko sejaktahun 1960 dan paling kuat sejak 1900.
Meskipun tenda-tenda besar yang disediakan pemerintah dan rumah sakit lapangan militer bermunculan di beberapa kota besar, sebagian wilayah yang terjal masih bertahan dengan sumbangan yang ditinggalkan warga di pinggir jalan.
Wartawan Reuters yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan terpencil yang menghubungkan desa-desa Amazigh, atau Berber, melihat para penyintas berkemah di tenda-tenda kecil atau di bawah lembaran plastik, karena takut gempa susulan dapat menghancurkan rumah mereka yang rusak.
“Kami orang Amazigh merasa seperti orang asing di negara kami. Kami merasa terisolasi. Orang-orang di sini membutuhkan. Mereka merasa sendirian,” kata Radouen Oubella (20) di desanya di Azermoun.
Dia menyuarakan keluhan lama tentang marginalisasi Amazigh di negara mayoritas Arab.
Pemerintah mengatakan pihaknya melakukan segala yang bisa dilakukan untuk membantu semua korban gempa.
Istana kerajaan mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Kamis (14/9) bahwa 50.000 rumah diketahui telah rusak akibat gempa tersebut, dan pihak istana akan menyediakan tempat berlindung dan 30.000 dirham ($3.000) untuk rumah tangga yang terkena dampak.
Mereka juga berjanji untuk menawarkan bantuan rekonstruksi sebesar 140.000 dirham untuk rumah-rumah yang runtuh dan 80.000 dirham untuk rumah-rumah yang rusak.
Kota Marrakesh, yang berjarak sekitar 72 km (45 mil) dari pusat gempa dan mengalami beberapa kerusakan, akan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional sesuai rencana pada 9-15 Oktober, kata gubernur bank sentral Maroko pada hari Kamis (14/9).
Namun di desa-desa Amazigh hanya ada sedikit tanda-tanda bantuan dari pihak berwenang akan terwujud atau kehidupan akan kembali normal dalam waktu dekat.
Masih Menunggu
Di puncak bukit di Azermoun, para pria berbagi dan memuat persediaan makanan dan air ke keledai dan bagal untuk diangkut ke Aoufour, sekitar 15 km jauhnya, dalam konvoi manusia dan hewan yang bergerak lambat.
“Masyarakat menderita akibat gempa ini. Mereka tidak punya apa-apa. Kami hidup hanya dari udara. Kami membutuhkan tenda dan selimut,” kata Mohamed Zidane (55) dari Aoufour.
Ketika konvoi sudah siap, Zidane menaiki salah satu hewan dan berangkat dalam perjalanan pulang yang jauh. Diperlukan dua atau tiga hari lagi untuk mengatur konvoi berikutnya.
Di sebuah lembah di lereng curam dari desa Anzelfi, yang mengalami kerusakan parah, warga mendirikan kemah dengan beberapa tenda serta selimut, permadani, dan barang-barang sisa lainnya.
“Kami masih menunggu bantuan pemerintah,” kata Mohamed Oufkir (30). “Kami di sini karena kami tunawisma.”
“Kami dalam bahaya karena kalau hujan lembah bisa banjir,” ujarnya. Di malam hari cuacanya sangat dingin, tambahnya.
Di desa Tagdirt, rumah Ibrahim Meghashi masih berdiri namun terdapat lubang besar dan retakan lebar pada dindingnya.
Terlalu takut untuk tinggal di dalam rumah, dia dan istri serta tiga putrinya yang berusia enam, 10 dan 15 tahun tinggal di tenda darurat. Mereka melapisi lantai tanah dengan karton dan tikar serta menumpuk kasur di atas satu sama lain.
“Kami sangat takut. Kehidupan di sini semakin sulit. Dingin. Kami tidak lagi mempunyai rumah dan kami khawatir akan terjadi gempa bumi lagi,” kata Meghashi (39).
“Pemerintah tidak peduli dengan kami. Kami merasa terpinggirkan. Kami marah.” (zarahamala/arrahmah.id)