JAKARTA (Arrahmah.id) – Direktur Utama Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) MUI, Aminuddin Yaqub, menyampaikan praktik akad mudarabah di beberapa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) belum sesuai Fatwa DSN MUI. Praktik tersebut ditemukan dalam kasus penentuan rugi bersama atau untung bersama akad mudharabah. Secara keseluruhan, dia mencatat 19 model transaksi di LKS yang belum sesuai Fatwa DSN MUI.
“Dalam praktik akad mudharabah di LKS, ada sejumlah isu yang implementasinya tidak sejalan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, ” bebernya pada Jum’at (7/9/2023) kepada MUIDigital dalam Pra Ijtima Sanawi DPS ke-VIII.
Jika mengacu Fatwa DSN MUI, sistem bagi hasil pada akad mudharabah berdasarkan nisbah hasil keuntungan setelah pengelolaan modal. Sehingga penentuan bagi hasilnya terletak di akhir, setelah modal dikelola, bukan di awal. Sementara praktik di lapangan, penentuan margin (selisih keuntungan) justru dilakukan di awal dalam bentuk nominal atau persentase modal.
“Terdapat LKS yang menentukan keuntungan di awal dalam bentuk persentase mirip bunga bank konvensional, misalnya menentukan keuntungan 12% setiap bulannya (di awal sebelum modal dikelola dan mendapat keuntungan pasti). Nah itu salah satu isu yang krusial (tidak sesuai fatwa) yang terjadi,” tegasnya.
Sebaliknya, ketika terjadi kerugian dalam akad mudharabah, sesuai Fatwa DSN MUI, maka perlu dibuktikan sebab-musabab kerugian terlebih dahulu. Apakah kerugian itu disengaja oleh nasabah (pengelola modal LKS) atau karena faktor yang tidak bisa dihindari.
Ada tiga bentuk sebab untuk mengukur pembagian kerugian. Pertama, ta’addi artinya kerugian tersebut disebabkan karena kesalahan nasabah sendiri. Nasabah melakukan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan. Bisa juga nasabah itu watau taqshir, yaitu tidak menjalankan apa yang seharusnya dilakukan. Terakhir, mukhalafatusy syuruth, nasabah menyalahi klausul-klausul (poin kesepakatan) yang telah disepakati.
“Apabila nasabah akad mudharabah tidak melakukan ketiga hal tersebut dan benar-benar terbukti kerugian itu nyata disebabkan “faktor langit” yang tidak bisa dihindari, nasabah tidak perlu bertanggung jawab atas kerugian tersebut, dan itu ditanggung oleh pemilik modal. Sedang jika terbukti nasabah melakukan salah satu dari tiga hal tadi, pemilik modal berhak menuntut atas kerugian yang disebabkan nasabah, ” ujarnya.
Anggota DSN MUI Bidang IKNB ini menyatakan, mudharabah sifatnya bukan hanya bagi hasil keuntungan, namun juga hasil kerugian.
“Selama kerugian itu bukan disebabkan taq’addi, taqshir, maupun mukhalafatusy syuruth, maka kerugian ditanggung pemilik modal, ” ujarnya.
LKS sebagai pemilik modal tidak boleh menentukan keuntungan di awal. Keuntungan belum bisa didapat sebelum modal dikelola nasabah sebagai pihak yang mengelola. Mudharabah adalah bagi hasil keuntungan (maupun kerugian) pengelolaan modal tadi dengan porsi yang disepakati.
“Pihak LKS juga harus siap menerima kerugian, selama kerugian itu akibat hal-hal yang tidak bisa dihindari, bukan karena kelalaian nasabah sebagai pengelola modal, jangan sampai LKS menuntut keuntungan di awal padahal kemudian nasabah mengalami kerugian, ” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)