TRIPOLI (Arrahmah.com) – Pengumuman penggunaan Syariah Islam sebagai asas legislasi di Libya oleh Dewan Transisi Nasional telah memicu sejumlah kekhawatiran dari sejumlah pihak, terutama Barat, al Masry al Youm melansir pada Rabu (26/10/2011).
Pemimpin interim Libya, Mustafa Abdel Jelil, menyatakan pada Minggu lalu dalam pidato kemerdekaan Libya baru di Benghazi, bahwa Syariah Islam akan menjadi undang-undang yang digunakan di negara tersebut.
“Undang-undang apapun yang dinilai bertentangan dengan Syariah secara sah tidak bisa digunakan,” katanya. Ia menyebutkan poligami yang dilarang keras selama rezim Gaddafi, mulai sekarang diperbolehkan karena Syariah pun memperbolehkannya.
“Hukum perceraian dan pernikahan (yang berlaku di masa Gaddafi).. Hukum ini berlawanan dengan Syariah dan tidak akan diberlakukan kembali,” tambahnya.
Komentarnya ini pun memunculkan sejumlah kritik dari kalangan sekuler dan liberal di Libya maupun Barat. Menurut mereka, kekhawatiran mereka mengenai dampak dari meruaknya pemberontakan di dunia Arab, yakni kebangkitan Islam, sudah mulai menggejala di Libya.
Adel Rahman Al Shatr, salah seorang penemu Partai Solidaritas Nasional yang baru diluncurkan pekan lalu, menyatakan bahwa pemimpin NTC itu terlalu dini untuk berbicara mengenai kebijakan di negara yang baru terlahir kembali itu.
“Perkara tersebut merupakan topik yang seharusnya didiskusikan dengan kelompok politik lain dari berbagai sudut pandang, juga dengan rakyat Libya sendiri,” tambahnya.
Sementara itu, para pejabat Barat pun merespon pernyataan Abdel Jalil. Mereka berdalih bahwa mereka takut penegakan Syariah Islam di Libya hanya akan merusak prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. (althaf/arrahmah.com)