BEIRUT (Arrahmah.id) – Libanon menghadapi gelombang baru pengungsi Suriah melalui titik penyeberangan informal di bagian utara wilayahnya.
Libanon saat ini telah menampung sekitar satu setengah juta hingga dua juta pengungsi Suriah yang meninggalkan negara mereka setelah pecahnya konflik pada 2011.
Gelombang masuk pengungsi Suriah terbaru dimulai sekitar tiga pekan lalu, surat kabar Libanon Al-Akhbar melaporkan pada Selasa (5/9/2023), dengan peningkatan jumlah pengungsi yang menyeberang dalam beberapa hari terakhir.
Al-Akhbar mengatakan bahwa tentara Libanon telah mencegah 850 warga Suriah menyeberang secara ilegal pada pekan terakhir Agustus, dan menghentikan 1.100 orang untuk menyeberang pada pekan lalu.
Al-Modon mengatakan bahwa faktor ekonomi seperti kenaikan harga dan memburuknya kondisi kehidupan di Suriah merupakan penyebab masuknya pengungsi baru-baru ini.
Dikatakan juga bahwa gelombang protes baru terhadap rezim Presiden Bashar Asad di Suriah juga berperan.
Al-Modon menambahkan bahwa banyak dari mereka yang datang ke Libanon bermaksud melakukan perjalanan berbahaya ke Eropa melalui laut, dan mengatakan bahwa perjalanan migran ke Eropa telah meningkat dari Libanon dalam beberapa bulan terakhir.
Al-Akhbar mengatakan tentara Libanon praktis tidak mampu membendung meningkatnya jumlah pengungsi Suriah yang masuk ke negara itu secara ilegal.
Menteri Pengungsi Libanon, Issam Sharaf Al-Din mengatakan kepada Al-Akhbar bahwa pemerintah sementara Libanon “belum menemukan solusi jangka panjang terhadap krisis ini”.
Dia mengatakan bahwa hal ini memerlukan kesepakatan dengan rezim Suriah untuk memulangkan pengungsi dan berpatroli di perbatasan.
Sharaf Al-Din juga mengatakan bahwa warga Libanon yang memberikan perlindungan kepada pengungsi Suriah harus dihukum.
Libanon sebelumnya telah memulangkan pengungsi Suriah ke negaranya, yang mendapat kecaman dari kelompok hak asasi manusia. Terjadi peningkatan rasisme dan permusuhan terhadap pengungsi Suriah di Libanon, dan banyak politisi yang mengkambinghitamkan mereka atas krisis ekonomi yang sedang berlangsung di negara tersebut.
Pengembalian paksa pengungsi ke negara mereka, yang dikenal sebagai refoulement, adalah tindakan ilegal menurut hukum internasional, dan kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty mengatakan bahwa pengungsi Suriah akan ditangkap, ditahan, wajib militer paksa menjadi tentara rezim, penyiksaan, dan eksekusi di negara asal mereka. (zarahamala/arrahmah.id)