TRIPOLI (Arrahmah.id) – Salah satu perdana menteri Libya yang bersaing pada Kamis (31/8/2023) menolak prospek normalisasi hubungan dengan “Israel” beberapa hari setelah tersiar kabar tentang pertemuan rahasia antara dua menteri luar negeri negara tersebut.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri “Israel” Eli Cohen secara terbuka mengumumkan bahwa ia dan menteri luar negeri Libya telah mengadakan pertemuan pribadi di Roma pada pekan sebelumnya, yang merupakan pertemuan pertama antara diplomat tinggi kedua negara.
Keesokan harinya, Perdana Menteri Libya Abdul Hamid Dbeibah memberhentikan Menteri Luar Negeri Najla Mangoush dan meluncurkan penyelidikan atas pertemuan tersebut. Menormalkan hubungan dengan “Israel” berdasarkan undang-undang 1957 di Libya adalah tindakan ilegal, yang telah lama memusuhi “Israel” dan mendukung Palestina.
“Kami menegaskan penolakan kami terhadap segala bentuk normalisasi,” kata Dbeibah dalam pertemuan tingkat menteri yang disiarkan televisi pada Kamis malam (31/8). “Hidup Libya, hidup Palestina, dan hidup perjuangan Palestina di hati kita semua,” ujarnya.
Kementerian Luar Negeri “Israel” menolak mengomentari pernyataan Dbeibah.
Pertemuan tersebut memicu aksi protes yang penuh kemarahan di beberapa kota di Libya, mendorong Mangoush melarikan diri ke Turki karena takut akan keselamatannya. Keberadaan pastinya masih belum diketahui.
“Sayangnya ada individu di pemerintahan yang bertindak independen,” kata Dbeibah mengacu pada pertemuan di Roma. Tindakan keras akan diambil sebagai tanggapan, tambahnya, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Dua pejabat senior pemerintah Libya sebelumnya mengatakan kepada Associated Press bahwa perdana menteri sebenarnya mengetahui tentang pembicaraan antara menteri luar negerinya dan diplomat “Israel”. Salah satu pejabat mengatakan Dbeibah menyetujui pertemuan tersebut, sementara pejabat kedua mengatakan Mangoush kemudian memberi tahu perdana menteri tentang hal itu setelah dia kembali ke Tripoli.
Pejabat kedua juga mengatakan Dbeibah memberikan persetujuan awalnya untuk bergabung dengan Abraham Accords yang ditengahi AS, namun ia khawatir akan reaksi publik di negara yang memiliki dukungan kuat terhadap perjuangan Palestina. Para pejabat tersebut berbicara tanpa menyebut nama karena sensitifnya masalah tersebut.
Libya terjerumus ke dalam kekacauan setelah pemberontakan yang didukung NATO menggulingkan diktator lama Muammar Khadafi pada 2011. Selama bertahun-tahun, negara ini terpecah antara pemerintah yang didukung Barat di Tripoli dan pemerintahan saingannya di timur negara itu. Masing-masing pihak didukung oleh kelompok bersenjata dan pemerintah asing. (zarahamala/arrahmah.id)