Oleh: Tim Kajian API (Advokat Persaudaraan Islam)
(Arrahmah.id) – Peristiwa pembantaian di KM 50, hingga hari ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Upaya all out untuk menutupi peristiwa dan motif sesungguhnya dari peristiwa pembantaian 6 Pengawal HRS, dilakukan mulai dari awal hingga akhirnya dengan pamungkas vonis onslaag dari PN Jakarta Selatan.
Pada awal peristiwa, dibangun opini dan propaganda melalui rekayasa case building peristiwa tembak menembak.
Propaganda skenario tembak menembak ini melibatkan langsung Satgas Merah Putih yang dipimpin oleh Sambo. Untuk memastikan skenario tersebut berjalan lancar, Hendra Kurniawan, yang akhirnya jadi terpidana kasus pembunuhan ajudan Sambo, sampai ikut serta dalam konferensi pers, walau itu bukan tupoksinya selaku pejabat divisi Propam Polri.
Bahkan Edi Mulyadi yang mencoba untuk membongkar habis skenario palsu tembak menembak tersebut, akhirnya di kriminalisasi melalui rekayasa kasus lain.
Lalu Sambo selaku Ketua Satgas Merah Putih sekaligus Kepala Divisi Propam, berupaya menggunakan template skenario rekayasa tembak menembak tersebut ketika dia membunuh ajudannya sendiri.
Namun, kali ini sayang seribu sayang, skenario palsu tembak menembak dalam peristiwa duren tiga, tidak berhasil. Fakta peristiwa yang sesungguhnya akhirnya terbongkar, karena pihak keluarga korban, melalui advokat Kamaruddin Simanjuntak melalui counter legal opini akhirnya mendapat dukungan media mainstream untuk membongkar peristiwa sesungguhnya.
Dan saat ini, kita lihat, Kamaruddin juga menjadi korban dari modus rekayasa perkara melalui skenario palsu, yaitu dengan dijadikannya Kamaruddin sebagai Tersangka dalam peristiwa berbeda. Yaitu, sangkaan yang dipaksakan dengan menggunakan UU ITE dan berita bohong. Pasal – pasal yang sering digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Yang juga menimpa Edi Mulyadi, Rocky Gerung, Refly Harun.
Kita tinggal tunggu, apakah modus merekayasa kasus/ perkara yang sedang disiapkan untuk menjerat RG dan Kamaruddin ini akan berjalan mulus sebagaimana mereka merekayasa kasus Edi Mulyadi, HRS, Syahganda, Jumhur dan yang lainnya.
Sebab pola operasi merekayasa, memutar balik fakta dan menjerat oposan sudah menjadi S.O.P. Tinggal target operasinya ditentukan lalu semua elemen mereka kondisikan, bahkan hingga ke masyarakat yang tidak mengerti apa-apa mereka libatkan seolah-olah mereka mendapat dukungan publik.
Lalu ada peristiwa menarik yang baru saja terjadi dalam kaitan penangkapan Teroris pegawai KAI. Opini dan propaganda sudah dimainkan, dibangun opini dan propaganda bahwa ada penumpukan senjata oleh tersangka teroris tersebut. Dan akan dimainkan skenario, ada 3 oknum polisi, yang terlibat dalam jual beli senjata, dengan tersangka yang ditangkap.
Namun, setelah skenario oknum polisi terlibat terorisme ini baru mulai dimainkan, dilalah, terjadi perubahan skenario.
Sepertinya, para ahli strategi di kalangan mereka, membaca bahwa bila skenario oknum polisi ini dikembangkan, akan menjadi issue liar yang kemungkinan tidak akan bisa mereka kontrol. Lalu diubahlah skenario bombastis tersebut. Dipisahkanlah bahwa oknum polisi tersebut tidak terlibat jaringan teroris, tapi hanya jual beli senjata ilegal.
Rupanya mereka takut bila mereka buat skenario oknum polisi terlibat sebagai supplyer senjata terhadap jaringan teroris, maka justru akan memukul balik institusinya sendiri. Publik tentu akan berpersepsi, bahwa ternyata justru “oknum-oknum” polisi yang menjadi biang kerok terorisme.
Bila kita mundur ke belakang sedikit, sebenarnya, keterlibatan “oknum” polisi dalam aksi terorisme sebagai penyuplai senjata dan sebagai “perencana” aksi terorisme adalah pernah terjadi, yaitu dalam peristiwa latihan perang di Jalin Jantho Aceh Besar.
Oknum yang menyuplai dan menjadi inisiator aksi tersebut jelas “oknum” polisi, dan sudah dihukum pidana. Dan saat ini, aktif sebagai “juru kampanye” alias duta anti teror. Tentu kita paham, peran sebagai penyedia senjata, inisiator aksi dan saat ini sebagai “jurkam dan duta” anti teror adalah satu garis lurus dalam sebuah operasi intelijen.
Lalu kita juga sempat dikejutkan dengan peristiwa polisi tembak polisi yang terjadi di asrama Brimob Cikeas. Dan muncul pemberitaan di media massa bahwa Anggota Densus yang ditembak oleh Anggota Densus lainnya, karena korban menolak untuk terlibat dalam jual beli senjata yang dilakukan oleh Anggota Densus pelaku penembakan.
Lalu berita tersebut hilang lenyap ditelan bumi, setelah ahli rekayasa opini dan propaganda menyatakan bahwa peristiwa di asrama Brimob Cikeas tersebut adalah hanya semata kelalaian dan kecelakaan. Berhasillah mereka menutup fakta peristiwa dengan menggunakan skenario kelalaian dan kecelakaan.
Lalu kembali ke issue teroris yang sedang digarap, perubahan skenario dengan mengganti skenario hanya menjadi jual beli senjata, tanpa keterkaitan dengan peristiwa lain adalah hal yang sangat janggal.
Pertanyaan sederhana yang patut diajukan, pihak yang membeli senjata dari 3 oknum polisi tersebut menggunakan untuk apa..?
Apa mungkin hanya untuk pajangan di dinding rumah..? Atau hanya untuk sekedar melakukan kejahatan dengan kekerasan semata..?
Atau ada kaitan dengan kelompok pemberontak di Papua yang memang butuh senjata..?
Atau memang 3 oknum tersebut berperan sebagaimana oknum yang terlibat dalam peristiwa Jalin Jantho..?
Yaitu sebagai agent provokateur dari sebuah operasi infiltrasi dengan tujuan false flag operation..?
Sehingga issue terorisme yang sering kali heboh ketika ada momentum politik yang membutuhkan peran para “teroris” untuk beraksi, menjadi sustainable…?
Banyak pertanyaan publik yang tidak terjawab dalam masalah ini.
Wamakaru wamakarallahu, wallahu khairul makiriin
Priangan pojok Bumi Allah,
Bulan kemerdekaan
Tim Kajian API (Advokat Persaudaraan Islam)
(ameera/arrahmah.id)