JAKARTA (Arrahmah.id) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersikukuh penyebab polusi udara di Jakarta bukan karena dampak dari keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitarnya, terutama di Suralaya, Banten.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro mengklaim hal tersebut dibuktikan dengan hasil satelit Sentinel-5P yang memuat informasi sebaran tropospheric column density untuk beberapa gas termasuk gas nitrogen dioksida (NO2).
Namun, menurut kajian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) justru polusi udara di Jakarta tak terlepas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitar Jakarta, lansir CNN Indonesia (15/8/2023).
Staf analis CREA, Katherine Hasan mengatakan penyebab polusi udara di Jakarta berasal dari ragam sumber emisi dan tak hanya dari dalam kota.
“Dalam kata lain, polusi dari sumber emisi yang berada di jarak yang jauh tetap dapat memberikan kontribusi besar terhadap tingkat polusi di daerah lain. Semakin besar sumber emisinya, semakin besar kontribusinya,” kata Katherine dalam keterangan tertulis, seperti dilaporkan CNN Indonesia.
Katherine menyebut aktivitas PLTU di sekitar Jakarta juga memiliki andil besar dalam memperparah kualitas udara di Ibu kota. Dengan kata lain, polusi udara di Jakarta tak cuma dari sumber emisi lokal sebagaimana diklaim oleh pemerintah.
“Kebanyakan dari PLTU berkontribusi signifikan terhadap tingkat polusi di udara Jakarta,” tutur Katherine.
“Namun, sumbangan emisinya tidak dimasukkan ke dalam angka emisi dalam batas kota Jakarta, sehingga tidak dihitung sebagai sumber,” imbuhnya.
Hasil riset CREA soal polusi udara
Pernyataan Katherine juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dirilis CREA pada Agustus 2020 lalu. Hasil riset tersebut menunjukkan terdapat 418 aktivitas industri dalam radius 100 kilometer dari Jakarta.
Berdasarkan hasil analisa, 136 dari 418 aktivitas industri itu memiliki fasilitas beremisi tinggi yang mempengaruhi kualitas udara di Jakarta.
“86 persen dari fasilitas beremisi tinggi ini beroperasi di luar perbatasan Jakarta. 62 beroperasi di Jawa Barat, 56 di Banten, 1 di Jawa Tengah dan 1 di Sumatera Selatan. Semuanya masih berada dalam radius 100 KM dari Jakarta,” demikian bunyi hasil penelitian CREA yang bertajuk ‘Transboundary Air Pollution in Jakarta, Banten and West Java Provinces’.
Temuan penelitian ini juga membantah pernyataan KLHK yang menyebut aktivitas PLTU, utamanya Suralaya, tak mencemari kualitas udara di Jakarta.
Dengan menggunakan metode metereologi TAPM dan metode penyebaran CALPUFF yang dilakukan modelling sepanjang 2014, diketahui emisi hasil aktivitas sejumlah PLTU itu terbawa hingga ke Jakarta dan mempengaruhi kualitas udara.
Dampak emisi sejumlah PLTU Suralaya terhadap kualitas udara di Jakarta itu juga bergantung dengan arah, kecepatan angin serta faktor atmosfer lainnya.
“Konsentrasi polusi di wilayah paling utara Banten tempat pabrik Suralaya berada tetap tinggi secara konsisten dan berkontribusi terhadap polusi udara di Jakarta di semua bulan dengan dampak tertinggi pada Desember sampai April,” bunyi salah satu kesimpulan penelitian tersebut.
Sebelumnya, KLHK mengatakan aktivitas PLTU Suralaya tak berdampak terhadap kualitas udara Jakarta berdasarkan hasil modelling yang dilakukan pada 27 Juli hingga 9 Agustus lalu.
“Terkonfirmasi bahwa sebagian besar masuk ke Selat Sunda tidak ke arah Jakarta. Nah, ini menegaskan bahwa sebetulnya sumber emisi di Jakarta sebagian besar dipengaruhi dari Jakarta sendiri dan di daerah Jabodetabek sebagai hinterland-nya,” kata Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro dalam Media Briefing: Kualitas Udara di Wilayah Jabodetabek, melalui Youtube Kementerian LHK, Ahad (13/8). (haninmazaya/arrahmah.id)