AMBON (Arrahmah.com) – Masih adanya diskriminasi hukum terhadap kaum Muslimin di Ambon menjadi akar masalah konflik di Ambon tidak kunjung selesai dan pemicu timbulnya terorisme. Beberapa kejadian berikut ini bisa menjadi contoh bagaimana keadilan hukum belum didapatkan oleh kaum Muslimin Ambon, sebagaimana dituturkan oleh Koresponden Arrahmah.com langsung dari TKP
Selalu ada diskriminasi untuk Muslim Ambon
Kaum Muslimin Ambon selalu mendapatkan diskriminasi hukum oleh para aparat penegak hukum atau polisi di Ambon, dari dulu hingga kini. Peristiwa terbaru yang bisa menjadi contoh adalah pada kasus penyerangan Kampung Waringin Ambon oleh pihak Kristen. Hingga saat ini, aparat kepolisian belum bisa menangkap aktor intelektual dan pelaku penyerangan Kampung Waringin Ambon yang menyebabkan 8 orang Muslim tewas, seratus orang lebih Muslim terluka, dan ratusan rumah milik kaum Muslimin hangus terbakar.
Sementara itu masih dalam suasana konflik pada tanggal 3 Oktober 2011, polisi Polres Ambon menangkap seorang pemuda Muslim bernama Ibrahim karena memukul pemuda Kristen yang mabuk di daerah Muslim. Sampai hari ini pelaku alias Ibrahim masih ditahan dan dikenakan pasal penganiayaan dengan ancaman hukuman minimal 6 bulan.
Dari dua kejadian bisa dibandingkan betapa polisi Polres Ambon begitu cepat menangkap dan memberikan hukuman jika pelakunya adalah seorang Muslim, dan menjadi begitu lambat untuk mengungkap apalagi memberikan hukuman jika para pelakunya adalah pihak Kristen. Ini jelas diskriminasi!
Peristiwa kedua adalah pasca penyerangan pemukiman Muslim di Jalan Baru, polisi menangkap 5 warga Muslim Jalan Baru untuk dijadikan saksi. Namun bersamaan dengan itu polisi tidak menangkap pelaku atau memeriksa saksi dari pihak Kristen Pohon Pulle atas kejadian pembakaran 3 bangunan milik kaum Muslimin.
Padahal sangat jelas bahwa para pelaku penyerangan dan pembakaran berasal dari kawasan Pohon Pulle. Apakah polisi tidak cukup bukti untuk melakukan penyidikan? Padahal penahanan terhadap Ibrahim, pelaku pemukulan pemuda Kristen yang mabuk juga tidak disertai alat bukti dan saksi. Inikah keadilan hukum di negara yang katanya menjunjung tinggi hukum?
Serangan Kristen kepada rombongan jama’ah haji
Peristiwa lain yang paling “memilukan dan memalukan” terjadi pada bulan Mei 2005. Ya, memilukan bagi rasa keadilan kaum Muslimin Ambon dan memalukan bagi wajah hukum di negeri ini.
Pada pertengahan bulan Mei 2005 terjadi penangkapan terhadap 20 orang lebih pemuda Muslim Ambon yang disebut sebagai teroris. Mereka dituduh sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap kaum nasrani di Maluku selama tahun 2005.
Padahal, apa yang mereka lakukan adalah reaksi pembalasan atas peristiwa penembakan rombongan jama’ah haji yang pelakunya adalah seorang oknum polisi Kristen bernama Otnil Layaba alias Otis. Peristiwa penembakan rombongan haji tersebut menewaskan seorang Muslim bernama Ismail Pellu (35 tahun). Oknum polisi Kristen ini divonis 4 tahun penjara dan diproses hukum dengan KUHP. Sudah 3 tahun ini oknum polisi tersebut bebas dan kembali berdinas sebagai polisi di Polres Ambon.
Peristiwa penembakan jama’ah haji ini pun direkayasa oleh kepolisian sebagai kecelakaan lalu lintas. Padahal di tubuh korban Ismail Pellu ditemukan luka tembak dan proyektil. Rekayasa inilah yang mengecewakan kaum Muslimin dan membuat marah keluarga besar korban. Akumulasi kekecewaan dan kemarahan inilah yang kemudian dilampiaskan dengan tindakan kekerasan berupa penyerangan ke beberapa wilayah Kristen.
Maka kemudian terjadilah kasus penyerangan Karaoke Villa, pelemparan granat di kampung Kristen Lateri dan pelemparan granat ke dalam angkutan umum milik orang Kristen. Ketika kasus-kasus kekerasan itu terungkap dan para pelakunya tertangkap oleh polisi, maka tindak kekerasan tersebut dikategorikan tindak pidana terorisme dan pelakunya disebut teroris dengan dijerat UU Nomer 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam penangkapan dan penyidikan para pelaku juga mengalami penyiksaan yang sangat keji dari anggota Detasemen 88 Polda Maluku. Polisi Polres Ambon yang didominasi oleh pihak Kristen tidak mau melepaskan pelaku dengan alasan dia warga luar Ambon yang datang pada saat Ambon sedang terjadi konflik.
Para pelaku kasus-kasus tersebut akhirnya divonis antara 4 tahun sampai seumur hidup, sebagian besar dari para pelaku sampai sekarang masih berada di penjara. Mereka disebut teroris karena barang bukti yang didapatkan ada senjata api dan bom.
Bandingkan dengan kasus berikut! 4 bulan setelah penangkapan 20 pemuda Muslim yang disebut teroris, tepatnya pada bulan September 2005, polisi menangkap 3 orang Kristen dari desa Passo yang membawa senjata api semi otomatis merk Getmi buatan Australia.
Ketiga orang tersebut adalah Paulus Naksaya (40), Agustinus Latureka dan Yohanes Loupaty. Dari tangan ketiganya juga disita satu peti peluru. Ketika ditangkap mereka beralasan senjata tersebut dipakai untuk berburu babi. Mereka dijerat dengan Undang-Undang Darurat dan hanya divonis 4 bulan penjara. Aneh!
Bandingkan pula dengan para pemuda Muslim yang tinggal di Batu Merah yang divonis 7 tahun penjara karena menyimpan beberapa buah bom rakitan. Inilah bukti nyata terjadinya diskriminasi hukum kepada kaum Muslimin di Ambon dan menjadi akar masalah konflik yang tak kunjung selesai. Selain itu, diskriminasi hukum kepada kaum Muslimin juga menjadi pemicu tindakan terorisme. Jadi siapakah sebenarnya yang menciptakan para teroris yang ada di Ambon? Perjuangan kaum Muslimin Ambon masih panjang dan berat untuk bisa menikmati keadilan yang sesungguhnya. Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/arrahmah.com)