Oleh: Yuli Ummu Raihan
Pemerhati Masalah Publik
Media sosial (medsos) hari ini telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kita. Hampir semua orang menggunakan medsos mulai dari anak-anak hingga lansia. Baik untuk sarana komunikasi, berbagi informasi, sumber rezeki, hingga wadah untuk eksistensi diri.
Sekarang kita harus bersiap ketika semua aktivitas kita di medsos akan dibatasi karena ada wacana pembentukan satgas pengawasan medsos. Wacana ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang baru Budi Arie Setiadi, saat dilantik pada 17 Juli 2023 lalu menggantikan Johnny G Plate yang tersandung kasus korupsi pengadaan BTS 4G (Detik, 21/7/2023).
Budi Arie mengatakan, sebenarnya wacana ini awalnya datang dari Menkopolhukam Mahfud MD, yang sempat bertugas menjadi Pelaksana Tugas Menteri Kominfo. Budi Arie, juga mengatakan tidak mudah untuk mengatasi potensi masalah yang muncul akibat kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi seperti Project S Tiktok dan social commerce perlu diawasi. Harus ada cara baru seperti pembentukan satgas dan inovasi dan pengembangan cara penanganan masalah yang lebih antisipatif.
Meskipun gagasan ini dikatakan tidak akan mengusik kebebasan berekspresi yang dijamin oleh sistem demokrasi, wacana ini tetap menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai istilah “Pengawasan” dimaknai pada era otoriter order baru sebagai tindakan untuk membungkam suara rakyat yang telah kritis di tangan Presiden Jokowi akibat kriminalisasi aktivis HAM (Tirto.id, 18/7/2923).
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, ikut menanggapi wacana ini. Ia menilai sudah terlalu banyak tim pengawas medsos dari pemerintah.
Pengawasan medsos Untuk Apa dan Siapa?
Ternyata gagasan pengawasan medsos ini bukan hal baru. Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) pada 2022 telah melontarkan wacana serupa. Pada saat itu yang jadi alasan adalah menghindari potensi polarisasi dan kegentingan jelang Pemilu 2024. Satgas ini diharapkan mampu bersinergi dengan dengan KPU sebagai pemilik aturan, Tim Cyber Crime Polri sebagai aparat penegak hukum.
Jelang pemilu medsos banyak digunakan untuk ajang pencitraan dan promosi, serta perang opini demi memenangkan pemilu. Sayangnya banyak konten yang berisi hoaks, adu domba, fitnah, perang opini yang ujungnya menimbulkan polarisasi dan berbagai permasalahan.
Wacana pembentukan pengawasan medsos ini menimbulkan pertanyaan publik untuk apa dan demi siapa? Bukankah wacana ini justru dapat mengancam kebebasan berekspresi yang merupakan hak masyarakat?
Sudah bukan rahasia umum lagi, banyaknya aturan dan perangkat terkait medsos ini sangat kental dengan kepentingan politik. Adanya UU ITE, polisi siber, dan lainnya nyatanya telah menjadi alat gebuk untuk membungkam dan mengintimidasi orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah atau korporasi. Bahkan tidak sedikit yang berakhir di dalam penjara.
Bahkan Amnesti Internasional (AI) pada 2022 telah merilis sebuah laporan yang berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”.
Lembaga HAM mencatat bahwa selama tiga tahun terakhir telah terjadi 328 kasus serangan fisik dan digital dengan 834 korban. Pelakunya didominasi oleh aparat, dan sedikit individu dan orang di luar pemerintah yang vokal mengkritik pemerintah.
Pembungkaman ini dilakukan dengan cara penghapusan mural, memblokir situs atau akun medsos hingga persekusi. Maka wajar jika banyak kalangan menolak wacana ini.
Seharusnya pemerintah bisa lebih fokus pada hal-hal yang penting lainnya. Medsos memang seperti dua sisi mata uang yang bisa berpotensi menghasilkan perbuatan positif dan negatif. Saat ini kita bagaikan kedatangan tsunami informasi dan konten-konten merusak. Alhasil generasi hari ini juga minim dari adab, bahkan perbuatan mereka penuh dengan kemaksiatan.
Banyaknya kasus kejahatan dan kerusakan moral hari ini dipicu oleh konten-konten yang rusak dan merusak di medsos. Namun sepertinya pemerintah lebih konsen terhadap konten-konten yang merusak dan menggoyahkan kursi kekuasaannya. Pemerintah gerak cepat terhadap konten dan akun yang vokal menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Konten-konten rusak dan merusak ini terus diindra masyarakat sehingga berubah menjadi informasi di alam bawah sadar. Bayangkan hasil sebuah penelitian mengatakan bahwa seseorang mampu lama-lama bermedsos hingga 190 menit per hari. Kemudian konten ini mulai menjadi gaya hidup mereka. Bahkan tidak sedikit yang kecanduan medsos hingga menyebabkan gangguan mental.
Aturan Islam Terkait Media
Islam memiliki aturan terkait media massa yaitu sebagai sarana melayani ideologi Islam baik di dalam negeri sebagai sarana dakwah dan pendidikan serta ke luar sebagai sarana propaganda menyampaikan dakwah Islam dan jihad di jalan Allah SWT.
Dalam kitab Nidzam Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, dijelaskan terkait media ini sebagai bagian dari sistem penerangan yaitu sebuah instansi penerangan yang menanggani penetapan dan pelaksanaan politik penerangan negara demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Membangun masyarakat yang kuat dan kokoh, menonjolkan kebaikan, dan menghilangkan keburukan. Sedangkan untuk luar negeri berfungi memaparkan Islam dalam kondisi damai dan perang dengan pemaparan yang menjelaskan keagungan, keadilan, kekuatan pasukan Islam serta menjelaskan kerusakan sistem buatan manusia.
Dalam daulah Islam, warga negara yang ingin memiliki media tidak memerlukan izin melainkan hanya pemberitahuan yang dikirimkan ke direktorat penerangan. Pemilik dan pemimpin media harus bertanggungjawab terhadap semua informasi yang disebarkan.
Pemerintah juga akan mengatur segala informasi yang beredar, mengawasi situs-situs yang dapat merusak akidah dan moral masyarakat. Bila perlu negara akan membuat aturan tegas terhadap situs-situs tersebut dari peringatan, memblokir bahkan sanksi hukum. Berbeda dengan hari ini, negara justru turut mengaruskan konten yang menjauhkan umat dari pemahaman agama yang benar. Negara justru memberi ruang dengan terus mempropagandakan gagasan moderasi beragama. Perlahan tapi pasti medsos bagaimana api dalam sekam yang akan membakar potensi generasi. Generasi hari ini disibukkan dengan food, fashion, fun (3F) serta song, seks, sport (3S) ditambah kecanduan medsos. Waktu mereka habis diisi dengan hal yang sia-sia bahkan bertentangan dengan aturan agama.
Kemaksiatan terus dipertontonkan, sehingga masyarakat menjadi terbiasa, akibatnya tidak ada lagi rasa risih dan berdosa ketika melihat kemaksiatan dan kemungkaran. Parahnya masyarakat diam dan tidak sedikit ikut terjerumus dalam kemaksiatan tersebut.
Mengikuti perkembangan informasi dan teknologi dalam Islam hukum asalnya mubah. Akan tetapi bisa menjadi wajib apabila dapat jadi wasilah untuk kebaikan. Menjadi haram apabila digunakan untuk keburukan.
Ketika bermedsos hendaknya kita niatkan untuk kebaikan seperti sarana mencari informasi, menjalin silaturahmi, dan menebar ilmu serta kebaikan. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Ketika bermedsos kita sering mendapatkan informasi yang menimbulkan pro dan kontra. Maka sebagai seorang muslim kita wajib tabayyun agar tidak menjadikan dosa jariyah. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat atau 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa sebuah berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Betapa banyak hari ini konten hoaks yang bertebaran, kadang berisi fitnah dan adu domba yang berakibat kerusakan. Maka bijaklah dalam bermedsos, jaga tutur kata dan tulisan kita.
Gunakan medsos untuk sarana dakwah dengan cara membagikan konten-konten yang positif, berisi ilmu, dan kebaikan. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Semua ini tentu saja akan dapat terwujud ketika sistem Islam diterapkan secara total. Karena dalam sistem Islam standar perbuatan adalah halal haram, bukan kepentingan apalagi materi. Hubungan masyarakat dengan pemerintah juga terjalin harmonis. Pemerintah hadir sebagai periayah umat, bertanggungjawab dunia akhirat. Rakyat memberikan ketaatan selama bukan dalam kemaksiatan, senantiasa melakukan muhasabah pada penguasa sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar. Dengan mekanisme ini wacana pengawasan medsos tidaklah terlalu penting. Masih banyak hal lain yang jauh lebih penting yang harus dilakukan pemerintah. Wallahua’lam bisshawab.