NEW DELHI (Arrahmah.id) — Kemunculan video mengerikan yang memperlihatkan dua perempuan telanjang diarak dan diperkosa oleh massa di Negara Bagian Manipur, India, mengungkap siapa yang akhirnya harus menanggung beban akibat konflik.
Serangan terhadap sejumlah perempuan itu terjadi hampir tiga bulan lalu, tetapi baru diketahui publik setelah videonya menjadi viral di Twitter.
Menurut laporan polisi, seperti dilansir BBC (25/7/2023), salah satu perempuan itu diperkosa beramai-ramai.
Pengaduan kepada polisi itu menyebutkan bahwa perempuan ketiga juga dipaksa untuk melepas pakaian, namun dia tidak terlihat dalam video tersebut.
Video tersebut memperlihatkan sejumlah perempuan yang dalam kondisi tidak berdaya didorong dan digerayangi oleh para penyerangnya.
Walaupun wajah para pria itu terlihat, sejauh ini hanya satu orang yang ditangkap atas tuduhan pemerkosaan berkelompok.
Manipur, yang terletak di wilayah Timur Laut India, dilanda kekerasan etnis antara kelompok Meitei yang mayoritas dan suku Kuki yang minoritas sejak Mei lalu.
Laporan-laporan dari lapangan mengungkap detil-detil berbagai peristiwa mengerikan, seperti penembakan, penjarahan, dan kekerasan seksual.
Merujuk pada laporan The Print, video kekerasan seksual itu beredar setelah berita bohong seputar pemerkosaan dan pembunuhan seorang perempuan Meitei beredar saat kekerasan mulai terjadi.
Kehadiran video itu “melepaskan siklus kekerasan pembalasan baru yang mematikan terhadap perempuan suku Kuki yang diduga dilakukan oleh sekelompok massa Meitei”, ungkap laporan itu.
Pemerkosaan telah lama digunakan sebagai senjata selama konflik.
Dalam sebagian besar insiden kekerasan berskala besar, seperti peristiwa pemisahan India pada 1947, perang kemerdekaan Bangladesh 1971, kerusuhan anti-Sikh 1984, perang saudara di Sri Lanka, serta kerusuhan Gujarat 2002, telah dilaporkan terjadinya peristiwa mengerikan yaitu serangan seksual dan pemerkosaan berkelompok, dengan skala kebrutalan yang kadang-kadang terungkap hanya beberapa dekade kemudian.
Catatan para penyintas menunjukkan bahwa kejahatan tersebut sering dikaitkan dengan balas dendam terhadap “orang lain” dengan melakukan kekerasan atas tubuh perempuan – yang dipandang sebagai kehormatan bagi komunitas mereka.
Penyelesaian yang ditempuh negara untuk mengakhiri konflik – seperti mengirim tentara dan pasukan keamanan lainnya – juga dituduh melakukan kekerasan seksual brutal di tempat-tempat yang dikuasai negara, seperti Kashmir dan sejumlah negara-negara bagian di wilayah Timur Laut.
“Harga yang harus dibayar kaum perempuan atas kekerasan yang dilakukan pada tubuh mereka sering kali tersembunyi dan sangat pribadi. Gerakan perempuan telah memperhatikan hal ini selama beberapa dekade, namun terus berlanjut”, kata Anuradha Chenoy, mantan profesor di Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi.
Yang memperburuk keadaan adalah sikap apatis negara.
Serangan di Manipur terjadi pada 4 Mei. Menurut pengaduan polisi yang diajukan oleh kerabat salah satu korban perempuan, hal itu terjadi ketika dua pria dan tiga perempuan dari komunitas suku Kuki melarikan diri ke hutan untuk menghindari kekerasan di Distrik Kangpokpi.
Laporan pengaduan ke polisi menuduh bahwa mereka diselamatkan oleh tim polisi yang kemudian disergap oleh sekelompok massa.
Menurut pengaduan, massa membunuh kedua pria tersebut dan memaksa para perempuan untuk melepas pakaian mereka.
Salah satu perempuan, yang berusia 21 tahun, “diperkosa secara brutal di siang bolong”, ungkap pengaduan itu, seraya menambahkan bahwa dua lainnya berhasil kabur.
Vikram Singh, eks kepala polisi di Negara Bagian Uttar Pradesh, mengatakan bahwa insiden “memalukan” itu menimbulkan pertanyaan serius tentang kinerja polisi dan pemerintah.
“Tidak ada kehadiran pemerintah di negara seperti India yang begitu tidak berdaya sehingga tidak bisa berbuat apa-apa ketika perempuan diperlakukan seperti ini”, katanya, seraya menambahkan bahwa selain para pelaku, petugas polisi yang bersangkutan juga harus dihukum.
Namun, proses penangkapan pertama dalam kasus tersebut baru dilakukan pada Kamis pagi, beberapa jam setelah video tersebut dibagikan secara luas di Twitter dan Mahkamah Agung mengatakan itu “sangat menganggu”.
Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang sering berbicara tentang pemberdayaan perempuan, tidak mengomentari krisis di Manipur secara terbuka meskipun ada seruan berulang kali dari warga dan pemimpin oposisi.
Dia akhirnya memecah kebisuannya dengan mengatakan bahwa hatinya “amat terluka dan marah” seraya mengatakan bahwa yang bersalah akan dihukum.
Namun pertanyaannya tetap saja, mengapa butuh waktu lama, apalagi wajah pelaku terlihat jelas di video viral tersebut?
“Memastikan akses terhadap keadilan adalah tanggung jawab negara. Tetapi dalam kebanyakan kasus, negara dan pemerintah benar-benar kalah dalam memperjuangkan keadilan”, kata Vrinda Grover, advokat yang telah mewakili beberapa korban kekerasan seksual.
Dia menambahkan bahwa jika Mahkamah Agung melakukan intervensi hanya untuk satu penangkapan yang merupakan “keajaiban”, itu tidak memberikan harapan apa pun kepada para korban kekerasan.
Khushbu Sundar, anggota partai Modi – Partai Bharatiya Janata (BJP), yang juga berkuasa di Manipur – mengatakan video itu “mengerikan” dan “tidak dapat diterima”.
“Ini benar-benar kegagalan hukum dan ketertiban,” katanya, namun menambahkan bahwa ini “bukan saatnya untuk saling menuduh” dan bahwa semua partai politik perlu mengesampingkan perbedaannya dan “berdiri bersama melawan kekerasan di Manipur”.
Pengacara Warisha Farasat, yang meneliti kerusuhan Bhagalpur 1989 di Negara Bagian Bihar yang menewaskan lebih dari 1.000 orang, mengatakan, bahwa dua komisi yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelidiki kekerasan tersebut, sama sekali tidak menyebutkan penyerangan seksual atau pemerkosaan dalam laporannya.
“Saya melakukan penelitian selama 21 tahun setelah insiden itu dan orang-orang masih enggan membicarakannya. Satu-satunya kasus di mana keluarga berbicara tentang kekerasan seksual adalah ketika korban meninggal dalam penyerangan itu, mungkin karena tidak ada stigma sosial terkait pemerkosaan yang terlibat”, katanya.
Di India, kekerasan seksual sering kali tidak dilaporkan karena korban trauma takut diusir oleh keluarga mereka dan dikucilkan oleh masyarakat.
Farasat mengatakan bahwa korban kekerasan seksual di zona konflik juga menghadapi trauma yang tumpang tindih – mulai dari kehilangan mata pencaharian hingga kematian anggota keluarga – yang dapat membuat mereka meminimalkan pengalamannya.
Dia menambahkan, bagaimanapun, bahwa keengganan tidak selalu berasal dari rasa malu.
“Masalahnya, ketika perempuan keluar untuk berbicara, mereka tidak mendapatkan keadilan. Itulah yang perlu diubah”, tambah Farasat
Meskipun ada contoh keadilan hukum yang sporadis, seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun dan banyak kekuatan dari pada korban, yang sudah terpinggirkan secara ekonomi dan mungkin terpaksa pindah dari rumahnya karena rasa takut dan malu.
Awal tahun ini, dua pria Hindu dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena memperkosa seorang perempuan Muslim pada 2013 selama kerusuhan komunal di Uttar Pradesh.
Putusan itu penting, tetapi Grover, yang mewakili pihak korban yang mengadu, menunjukkan bahwa tujuh orang perempuan pada awalnya mendekati pengadilan.
“Akhirnya, hanya satu perempuan yang berdiri dan bersaksi melawan para penyerangnya”, katanya.
Contoh lain, kata Farasat, adalah Bilkis Bano, yang diperkosa beramai-ramai dan melihat 14 anggota keluarganya dibunuh oleh massa Hindu selama kerusuhan anti-Muslim tahun 2002 di negara bagian Gujarat.
Tetapi 11 terpidana dalam kasus itu diberikan pembebasan awal dari penjara tahun lalu oleh pemerintahan BJP yang berkuasa di negara bagian itu.
Ketika para pria itu berjalan bebas pada hari kemerdekaan India, dan para kerabatnya merayakannya dengan memberi mereka permen dan menyentuh kaki mereka.
Laporan-laporan mengatakan orang-orang itu juga dikalungi oleh aktivis organisasi Hindu garis keras.
“Dalam kasus Bilkis, roda keadilan benar-benar menguntungkannya, tetapi kami telah mencapai lingkaran penuh dan sekarang para terpidana bebas lagi. Namun, bahkan untuk keadilan terbatas itu, Bilkis adalah pengecualian karena dia adalah salah satu dari sedikit korban yang mampu melawan kasusnya. Kasusnya adalah kasus penting karena dia adalah pengecualian dari aturan tersebut,” katanya.
Negara sering menawarkan kompensasi kepada para korban, tetapi yang mereka butuhkan adalah reparasi, kata Grover.
“Itu termasuk rehabilitasi, jaminan tidak terulangnya serangan dan restitusi sosial dan ekonomi”, katanya.
Apa yang perlu diakhiri, tambah Farasat, adalah budaya impunitas yang semakin menguat dengan setiap insiden yang terjadi berturut-turut.
“Bukan hanya massa, tapi juga pihak berwenang seperti petugas polisi dan politisi – semua orang harus bertanggung jawab”. (hanoum/arrahmah.id)
Potongan gambar dari video pegawai supermarket Souq al Baladi membersihkan raknya dari produk buatan Swedia. [Foto : Doha News]