BOGOR (Arrahmah.id) – Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Bogor (FMPB) menggelar aksi di depan Balai Kota Bogor pada Jumat (14/7/2023) untuk menyuarakan penolakan terhadap Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
FMPB menggelar aksi tersebut untuk merespon semakin meningkatnya kasus penyimpangan seksual khususnya di Kota Bogor dan juga semakin berkembangnya organisasi LGBT di Indonesia.
Koordinator FMPB Gumelar Adiwijaya memaparkan, sesuai laporan resmi organisasi LGBT ke badan PBB yaitu UNDP dan USAID dengan judul “Hidup Sebagai LGBT di Asia; Laporan Nasional Indonesia” yang diselenggarakan di Bali pada bulan Juni 2013, terungkap bahwa organisasi LGBT telah berkembang menjadi 119 organisasi di 28 provinsi, yang mana bisa saja 10 tahun kemudian tepatnya sekarang di tahun 2023 organisasi mereka telah berkembang lebih banyak lagi.
Terlebih, FMPB mengungkapkan bahwa LGBT bertentangan dengan agama, budaya, Pancasila dan UUD 1945.
“LGBT itu bertentangan dengan semua agama, budaya, nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, karena dapat menimbulkan keresahan antar warga masyarakat,” jelas Gumelar di hadapan massa yang hadir.
Oleh karena itu, dalam pernyataan sikapnya, FMPB menyampaikan sejumlah tuntutan.
“Pertama, mendesak Wali Kota dan DPRD Kota Bogor untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden RI dan DPR RI, agar segera menerbitkan undang-undang pencegahan perilaku penyimpangan seksual dan kegiatan pendukung LGBT,” ujar Gumelar.
Kedua, FMPB mendesak Wali Kota dan DPRD Kota Bogor untuk mengeluarkan maklumat yang isinya menolak dilaksanakannya kegiatan pertemuan aktivis LGBT se-Asean pada 17-21 Juli 2023 di Jakarta atau kapan pun dan di kota manapun di Indonesia.
“Ketiga, Forum Masyarakat Peduli Bogor mengajak Wali Kota dan DPRD Kota Bogor untuk sama-sama menolak rencana kedatangan band Coldplay ke Indonesia yang direncanakan pada bulan November 2023,” kata Gumelar.
Pada tuntutan keempat, FMPB mempertanyakan proses dikeluarkannya aturan terkait penanggulangan perilaku penyimpangan seksual di Kota Bogor.
Dengan berbagai upaya pengawalan dari elemen masyarakat, pada tahun lalu, tepatnya 21 Desember 2021 terbitlah Perda P4S (Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual).
Dalam Perda tersebut, disepakati bahwa Wali Kota Bogor harus mengeluarkan Perwali sebagai instrumen pelaksana paling lambat enam bulan setelah diterbitkan Perda P4S .
Namun hingga saat ini, sudah lebih dari setahun Perda tersebut, Wali Kota Bogor belum melaksanakan kesepakatan dengan menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwali) Perda P4S.
“Sebagaimana tertuang dalam Perda nomor 10 tahun 2021 tentang P4S pada bab xiii pasal 27 yaitu ‘Peraturan pelaksana peraturan daerah ini harus ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak peraturan daerah ini diundangkan’ yang telah ditandatangani oleh Wali Kota, Sekda, Kabag Hukum dan HAM dan DPRD. Yang kenyataannya sampai tahun 2023 Perwali tersebut tidak kunjung terbit, ini menunjukkan bahwa Pemkot telah mencedederai rasa keadilan kepada warga Kota Bogor,” papar Gumelar.
“Sebagaimana poin nomor 4 (empat) diatas, kami mendesak Wali Kota untuk segera menerbitkan peraturan Wali Kota sebagai peraturan pelaksana atas peraturan daerah nomor 10 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanggulangan perilaku penyimpangan seksual,” tegasnya.
Pada tuntutan terakhir, yang keenam, FMPB mengingatkan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto untuk segera menyelamatkan warganya dari bahaya LGBT dengan menerbitkan aturan yang tegas di sisa masa jabatannya.
“Kepada Wali Kota kami berpesan agar akhirilah jabatan sebagai Wali Kota dalam keadaan husnul khatimah, karena setiap masa depan anak-anak yang diselamatkan melalui terbitnya Perwali Perda P4S dari teror kaum LGBT, akan menjadi amal jariyah Walikota dan DPRD Kota Bogor,” tandas Gumelar.
Aksi tersebut berlangsung tertib dan damai, sejumlah perwakilan massa juga diterima oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Syarifah Sofiah. Sementara itu Wali Kota Bogor Bima Arya dan wakilnya tidak terlihat di tempat. (rafa/arrahmah.id)