KHARTOUM (Arrahmah.id) – Tembakan artileri, serangan udara dan pertempuran senjata mengguncang ibu kota Sudan pada Sabtu (24/6/2023), para saksi mata mengatakan kepada AFP, ketika PBB mendesak dihentikannya “pembunuhan sembarangan” yang menyebabkan mayat-mayat membusuk di Darfur.
Sementara pertempuran berkecamuk, upaya bantuan terhenti setelah lebih dari dua bulan pertempuran antara para jenderal yang saling bersaing.
Rumah-rumah di Khartoum berguncang akibat pertempuran yang tak kunjung usai, kata para penduduk, dan seluruh keluarga berlindung di tempat yang aman, kehabisan persediaan bahan makanan di tengah musim panas yang menyengat.
PBB mengatakan hampir 1,5 juta orang telah melarikan diri dari ibu kota sejak kekerasan meletus pada pertengahan April, mengadu domba tentara reguler dengan Pasukan Pendukung Cepat (RSF).
Seluruh distrik di Khartoum tidak lagi memiliki air yang mengalir, dan mereka yang tetap tinggal di kota itu tidak memiliki listrik sama sekali sejak Kamis, kata beberapa warga kepada AFP.
Pertarungan perebutan kekuasaan antara panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan mantan wakilnya, komandan RSF Mohamed Hamdan Daglo, telah menewaskan lebih dari 2.000 orang, menurut Proyek Data Lokasi dan Peristiwa Konflik Bersenjata.
Kekerasan paling mematikan terjadi di Darfur, wilayah barat yang luas di perbatasan dengan Chad di mana PBB telah memperingatkan adanya kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan dan mengatakan bahwa konflik tersebut telah mengambil “dimensi etnis”.
Di ibu kota negara bagian Darfur Selatan, Nyala, penduduk mengatakan mereka telah terjebak dalam baku tembak. Mereka melaporkan adanya pertempuran, penembakan dan serangan artileri.
“Warga sipil terbunuh, dan korban luka-luka mulai berdatangan ke rumah sakit,” kata seorang petugas medis kepada AFP dengan syarat tidak disebutkan namanya.
PBB pada Sabtu mendesak “tindakan segera” untuk menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang yang melarikan diri dari El Geneina, ibukota negara bagian Darfur Barat, oleh milisi Arab yang dibantu oleh paramiliter.
Kantor hak asasi manusia PBB yang berbasis di Jenewa mengatakan bahwa para saksi mata telah memberikan “laporan yang menguatkan” bahwa milisi menargetkan orang-orang dari kelompok Masalit yang bukan Arab.
Dikatakan bahwa semua kecuali dua dari 16 orang yang diwawancarai mengaku bahwa mereka telah menyaksikan “eksekusi tanpa pengadilan” dan penargetan warga sipil di jalan dari El Geneina menuju perbatasan antara tanggal 15 dan 16 Juni. (haninmazaya/arrahmah.id)