AUSTRALIA (Arrahmah.com) – Lebih dari 600 mahasiswa dan staf Muslim di Universitas RMIT , salah satu institusi pendidikan terkemuka Australia, melakukan sholatnya di halaman terbuka selama delapan bulan, setelah badan administrasi kampus tersebut menutup 14 tempat beribadah mereka.
“Selama 8 bulan terakhir, saudara-saudari Muslim kami telah menunaikan sholat di lapangan Universitas di saat panas, hujan maupun turun salju”, kata Mohamed Elrafihi, wakil ketua Himpunan Muslim di Universitas RMIT, kepada IslamOnLine.net dalam sebuah interview via e-mail.
Awal tahun lalu, Universitas mengeluarkan kebijakan untuk membongkar 14 ruangan yang biasanya digunakan untuk beribadah, dan membangun sebuah fasilitas baru bagi para mahasiswa dan staf Muslim di kampus tersebut.
“Untuk satu setengah tahun, Himpunan Muslim RMIT telah diberi tahu akan adanya tempat ibadah.”
“Dengan segera kami mengemasi barang dan pindah ke tempat peribadatan sementara, menunggu selesainya pembangunan gedung tersebut”, Elrafihi menuturkan.
Pembangunan gedung baru yang berhiaskan kalimat Arab pada dinding-dindingnya termasuk Asmaul Husna dan nama Rasulullah (berkat dan rahmat atasnya) menurut rencana akan selesai pada Februari 2008.
“Namun pihak Universitas memberikan bermacam alasan mengapa gedung tersebut belum siap digunakan, bahkan mengatakan sedang memersiapkan upacara pembukaan dengan mengundang seorang Mufti Australia”, kata seorang ketua mahasiswa.
“Administrasi RMIT bahkan tidak merundingkan masalah tesebut dengan para mahasiswa dan staf, mereka hanya melakukan apa yang terbaik menurut mereka.”
RMIT merupakan satu dari sepuluh Universitas terkemuka di Australia dan termasuk dalam “200 Universitas terbaik dunia” menurut UK Times.
Dengan menanggung nasib lebih dari 600 mahasiswa dan staf Muslim, keputusan tersebut memakan waktu yang terlalu lama bagi salah satu Universitas di Australia yang dikenal bersahabat dengan umat Muslim.
Sebagian besar mahasiswa Mulsim RMIT berasal dai Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Malaysia dan Singapura.
Beberapa saat sebelum pembukaan, tiba-tiba pihak Universitas membongkar dekorasi tempat tersebut, termasuk kalimat-kalimat Arab yang tertera di dinding tempat tersebut, memutuskan menggunakan tempat tersebut sebagai tempat peribadahan bagi semua kepercayaan di RMIT, dan menetapkan jadwal bagi umat Muslim antara pukul 11.30 hingga pukul 17.00.
“Waktu yang disediakan tidak dapat memenuhi kebutuhan religius para mahasiswa dan staf, hanya satu dari lima waktu sholat yang dilaksanakan dalam waktu tersebut, dan diluar waktu itu, para mahasiswa diperintahkan untuk kembali kedalam kampus, memilih antara agama atau pendidikannya”, kata Elrafihi.
Sedangkan Masjid terdekat dari kampus berjarak sekitar 15 menit dengan berjalan kaki.
“Mereka mengharapkan para mahasiswa, terutama para wanita yang berjilbab untuk berjalan kaki di malam hari di pusat kota”, keluh Elrafihi.
“Para mahasiswa Muslim memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi Universitas, dan salah satu diantaranya adalah dengan menyediakan tempat beribadah di kampus, seperti yang RMIT miliki sejak tahun 1994.
Mereka menuduh Universitas telah membatasi kebebasan beragama mereka.
“Saya sangat prihatin sebagai seorang pelajar Muslim di kampus ini atas keputusan yang sangat tidak menghargai dan tanpa pemberitahuan sebelumnya”, kata Saif, seorang mahasiswa jurusan Arsitek.
“Sebagai seorang muslim, hal tersebut akan mengganggu ibadahku dan sebagai seorang pelajar, hal tersebut mengganngu kegiatan belajarku.”
Saat ini, para mahasiswa dan staf RMIT selalu melakukan sholat Jumat di jalan dekat kampus tersebut.
“Saya lebih memilih ketenangan dimana saya selalu mencari lingkungan yang mau menerima, menghabiskan tahun pertama saya dengan ratusan saudara Muslim lainnya sementara pihak Universitas berada di sisi yang lain, tidak melakukan apa-apa, membiarkan bulan-bulan berlalu bersama ibadah kami di saat panas, hujan dan musim salju”, kata Nadim yang merupakan seorang mahasiswa jurusan informatika.
“Yang sangat saya khawatirkan adalah saudari-saudari Muslim, tanpa tempat ibadah yang pantas mereka akan sulit belajar maupun berkumpul bersama”.
“Mereka tidak dapat melepas jilbab mereka karena tidak ada tempat untuk melakukannya, mereka harus ber-wudhu di toilet umum dan beribadah ditempat sempit yang hanya dapt menampung dua atau tiga orang”.
Mohamed dari jurusan bisnis sangat terkejut dengan keputusan kampusnya.
“Tidak adanya tempat beribadah yang pantas sangat memengaruhi para mahasiswa dan staf Muslim dalam kegiatan mereka, bertanya-tanya dimana mereka akan beribadah”, katanya.
“Saya kira pihak Universitas memberikan keputusan berdasarkan keterangan yang salah, dan akan mengakibatkan hilangnya kelebihan yang sebelumnya sangat dibutuhkan para mahasiswa Muslim di seluruh dunia”. (Hanin Mazaya/IOL/SM)