SYDNEY (Arrahmah.id) — Ben Roberts-Smith, mantan tentara pasukan khusus Australia, dinyatakan bersalah karena mengeksekusi tahanan secara tidak sah dan melakukan kejahatan perang lainnya di Afghanistan.
Itu disampaikan hakim Pengadilan Federal Anthony Besanko, Kamis (1/6/2023), sebagaimana dilansir AP.
Hakim menolak gugatan Roberts-Smith terhadap sejumlah media, di mana dia mengeklaim telah difitnah. Hakim Besanko memutuskan bahwa artikel-artikel yang diterbitkan sejumlah media pada tahun 2018 secara substansial benar tentang sejumlah kejahatan perang yang dilakukan oleh Roberts-Smith.
Roberts-Smith adalah mantan kopral Resimen Layanan Udara Khusus (SAS) yang sekarang menjadi eksekutif perusahaan media.
Penerima Victoria Cross ini juga dikenal sebagai veteran perang yang paling dihormati.
Roberts-Smith, yang juga dianugerahi Medal of Gallantry untuk dinas perang Afghanistannya, terbukti telah mengeksekusi seorang tahanan yang memiliki kaki palsu dengan menembakkan senapan mesin ke punggung pria itu pada tahun 2009.
Dia menyimpan prostetik pria itu sebagai wadah minum bir yang baru.
Roberts-Smith juga telah menendang seorang petani yang tidak bersenjata dan diborgol dari tebing ke dasar sungai di mana seorang rekan SAS-nya menembak mati petani itu pada tahun 2012.
Roberts-Smith telah membuat klaim pencemaran nama baik terhadap The Sydney Morning Herald, The Age, dan The Canberra Times atas artikel mereka.
Pengacaranya, Arthur Moses, meminta waktu 42 hari untuk mempertimbangkan mengajukan banding.
Biaya hukum Roberts-Smith ditanggung oleh miliarder Kerry Stokes, ketua eksekutif Seven West Media tempat Roberts-Smith bekerja.
Roberts-Smith adalah salah satu dari beberapa personel militer Australia yang sedang diselidiki oleh Polisi Federal Australia atas dugaan kejahatan perang di Afghanistan.
Tuduhan pidana pertama atas dugaan pembunuhan ilegal di Afghanistan dibuat pada bulan Maret.
Mantan polisi SAS, Oliver Schulz, didakwa dengan kejahatan perang pembunuhan atas kematian seorang warga Afghanistan yang ditembak pada tahun 2012 di sebuah ladang gandum di provinsi Uruzgan. (hanoum/arrahmah.id)