Sudah menjadi sunatullah (hukum alam dari Allah) akan adanya pertentangan alias konfilk antara al haq (kebenaran) dan al batil (kesesatan). Musuh-musuh Islam secara istiqomah (konsisten) akan menghalangi tegaknya Islam dengan memadamkan cahaya dakwah dan jihad fi sabilillah di tengah-tengah ummat. Salah satu metode dan teknik tebaru yang digunakan adalah melancarkan gerakan deradikalisasi, sebuah proyek menggerus aqidah ummat dan menghancurkan Islam. Waspadalah!
Apa perlunya deradikalisasi?
Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta, telah mengeluarkan sebuah buku berjudul “Kritik Evaluasi & Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang isinya mengkritisi proyek deradikalisasi buatan BNTP sekaligus meluruskan beberapa tulisan yang disampaikan dalam acara bertema “Halaqah Penanggulangan Terorisme”, Ahad, 21 November 2010 di hotel Novotel Solo, yang diadakan MUI Pusat bersama FKPMN (Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional).
Banyak tema, konsep dan istilah dari BNPT dengan proyek deradikalisasinya yang dikritisi dalam buku ini. Misalnya tentang makna radikalisme yang disimpulkan masih sangat ambigu dan perlu ditinjau kembali. Dikatakan dalam tulisan itu bahwa :
Radikalisme merupakan faham (isme), tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik, sosial, politik dengan menggunakan kekerasan, berfikir asasi dan bertindak ekstrim.
Buku yang ditulis oleh MUI Surakarta itu mengomentari, jika defenisi ini diterima, maka :
- Setiap faham yang membolehkan adanya tindak kekerasan juga tetap termasuk radikalisme, meskipun kekerasan itu bukan satu-satunya jalan. Jadi, Rasulullah juga radikal, karena menyerang Makkah waktu Fathu Makkah, Amerika juga radikal, karena menyerang Iraq, menyerang Afghanistan, membombardir sebagian wilayah Pakistan dalam rangka mengejar dan menyerang para “teroris” menurut versi AS. Polri/Densus 88 juga radikal, karena menangkap, menyerang, menyiksa dan membunuh banyak orang yang mereka beri label “teroris”.
- Berfikir asasi adalah perbuatan yang dianggap salah, padahal dalam dienul Islam, berfikir asasi ini diperlukan dalam menentukan hukum, membedakan antara baik dengan buruk dalam batas-batas Al-Islam, untuk mengontrol apakah suatu keputusan yang diambil itu menyalahi nas dan kaidah atau tidak. Tanpa berfikir asasi, orang tidak akan pernah bisa mengambil keputusan yang benar. Adapun soal anggapan bertindak ekstrim, hal itu tergantung kepada siapa yang menilai dan dari arah mana menilainya. Sebagai contoh, di masa penjajahan Belanda, orang Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaannya dituduh ekstrim oleh Belanda, sehalus dan selembut apapun cara yang ditempuhnya. Maka dalam kaitan dengan orang Islam dalam menjalankan keislamannya, ukuran ekstrim atau tidak, haruslah dilihat dari segi ajaran Al-Islam, bukan dari arah pemandangan fihak yang anti atau di luar Islam. Dengan demikian, kalau sangkaan itu benar, justru radikalisme itu merupakan ciri orang baik-baik, dipandang dari satu arah. Dikatakan dari satu arah, karena Al Islam bukan hanya sekedar “radikalisme”, tetapi dia adalah “Dienul Islam”, dien yang diridlakan Allah untuk manusia.
Kalau demikian faktanya, buat apa dibuat proyek deradikalisasi? Karena pada hakikatnya agama Islam adalah agama yang “radikal” dan ummat Islam harus berfikir “asasi” dan bersifat “ekstrim” terhadap agamanya. Sementara itu, proyek deradikalisasi berupaya menghapus semua hal-hal penting tersebut, atau dengan kata lain proyek deradikalisasi pada hakikatnya adalah proyek untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin!
Begitu pula dengan istilah atau definisi terorisme yang dikeluarkan BNPT sendiri melalui slide tulisan Ansyaad Mbai, yakni “No global consensus” alias tidak ada kesepakatan global. Di buku tersebut dikomentari, ‘Kalau tidak ada kesepakatan tentang definisinya, maka tudingan terhadap seseorang/kelompok sebagai teroris adalah tuduhan sepihak yang mengada-ada, bukan dengan fakta yang adil, dan inilah yang terus terjadi selama ini (sejak 2001 sampai sekarang dan entah sampai kapan lagi).’
Ummat Islam bersatu tolak deradikalisasi!
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Bekasi, menyikapi deradikalisasi dengan mengadakan Kajian Satu Malam bertema “Kupas Tuntas Islam, Radikalisme & Rekayasa Kafir”. Dalam acara yang diadakan di Masjid Nurul Islam, Islamic Center Bekasi ini, hadir beberapa pembicara, diantaranya KH Mudzakkir dari MUI, Munarman, SH dari An Nashr Institute, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Pusat, dan H. Ahmad Salimin Dani, MA, Ketua DDII Bekasi.
Selain itu, Majelis Ilmu Ar-Royyan juga mengadakan acara serupa, yakni Kuliah Umum dengan tema “Memerangi Syariat Islam Dengan Deradikalisasi”, Ahad, 9 Oktober 2011 di Masjid Muhammad Ramadhan, Taman Galaxi, Pekayon, Bekasi. Hadir dalam acara tersebut sebagai pembicara adalah Ustadz Abu Muhammad Jibriel AR, selaku Amir Majelis Ilmu Ar-Royyan, dan Munarman, SH dari An Nashr Institute.
Ustadz Abu Muhammad Jibriel AR mengatakan bahwa usaha deradikalisasi tujuannya untuk menghalangi syariat Islam dan jihad di Indonesia. Proyek radikalisasi yang selama ini dijalankan menurut beliau bukan penyelesaian yang ilmiah dan bijak, justru akan menimbulkan anti pati dan kebencian terhadap pemerintah.
Sementara itu, Munarman, SH dalam acara bedah buku “Kritik Evaluasi & Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang digelar MUI Solo di Masjid Baitul Makmur, Solo Baru, Sukoharjo, Ahad, 31 Juli 2011, menyimpulkan bahwa program deradikalisasi terorisme yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah proyek menghapus istilah jihad yang merupakan ruh perjuangan umat Islam.
“Program Deradikalisasi Terorisme yang sekarang ini sedang dijalankan oleh BNPT merupakan program untuk menghapus istilah dan nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam khususnya istilah jihad yang merupakan ruh umat Islam demi tegaknya Syariat Islam,” jelasnya.
Kesimpulannya, proyek deradikalisasi yang belakangan ini gencar dilakukan, khususnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan seluruh agen-agennya, akhirnya membuka mata ummat Islam bahwa proyek itu adalah metode dan teknik baru dari musuh-musuh Islam untuk menghalangi tegaknya Islam dengan memadamkan cahaya dakwah dan jihad fi sabilillah di tengah-tengah ummat. Waspadalah!
(M Fachry/arrahmah.com)