KHARTOUM (Arrahmah.id) – Warga Sudan bersiap-siap untuk menghadapi pertumpahan darah lagi pada Senin (1/5/2023) setelah pasukan militer yang berseteru saling menuduh satu sama lain melakukan pelanggaran baru terhadap gencatan senjata pada Ahad ketika konflik mematikan mereka bergemuruh untuk pekan ketiga tanpa ada bantuan yang terlihat.
Ratusan orang telah terbunuh dan ribuan lainnya terluka sejak perebutan kekuasaan yang telah berlangsung lama antara tentara Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) meletus menjadi konflik pada 15 April.
Kekerasan telah mengguncang ibu kota Khartoum dan wilayah barat Darfur meskipun telah ada banyak gencatan senjata.
Bersama-sama, tentara dan RSF menggulingkan pemerintah sipil dalam kudeta pada Oktober 2021, tetapi kini mereka terjebak dalam perebutan kekuasaan yang telah menggagalkan transisi menuju demokrasi yang didukung secara internasional dan mengancam akan menggoyahkan kawasan yang rapuh, lansir Reuters.
Kedua belah pihak mengatakan perjanjian gencatan senjata resmi yang akan berakhir pada tengah malam akan diperpanjang selama 72 jam, dalam sebuah langkah yang menurut RSF “sebagai tanggapan atas seruan internasional, regional, dan lokal.”
Pihak militer mengatakan bahwa mereka berharap apa yang mereka sebut sebagai “pemberontak” akan mematuhi kesepakatan tersebut, namun mereka yakin bahwa mereka berniat untuk terus melakukan serangan.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) mengatakan pada Senin bahwa mereka akan segera mencabut penangguhan operasinya di Sudan yang diberlakukan setelah kematian tragis anggota timnya.
“WFP dengan cepat melanjutkan program-program kami untuk memberikan bantuan penyelamatan nyawa yang sangat dibutuhkan oleh banyak orang saat ini,” tulis direktur eksekutif WFP, Cindy McCain, di akun Twitternya.
WFP mengatakan pada 16 April bahwa mereka telah menghentikan sementara semua operasi di Sudan setelah tiga karyawannya terbunuh dalam bentrokan antara tentara Sudan dan RSF.
Sedikitnya 528 orang telah terbunuh dan 4.599 orang terluka, kata kementerian kesehatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melaporkan jumlah korban tewas yang sama, namun meyakini bahwa jumlah korban yang sebenarnya jauh lebih tinggi.
Pemimpin militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah duduk bersama dengan pimpinan RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang juga dikenal sebagai Hemedti, yang pada gilirannya mengatakan bahwa ia hanya akan berbicara setelah militer menghentikan permusuhan.
Di Khartoum, tentara telah memerangi pasukan RSF yang bercokol di daerah-daerah pemukiman. Pertempuran sejauh ini telah membuat pasukan RSF yang lebih gesit menyebar ke seluruh kota karena tentara yang memiliki perlengkapan lebih baik mencoba untuk menargetkan mereka sebagian besar dengan menggunakan serangan udara dari pesawat tak berawak dan jet tempur.
Konflik ini telah menyebabkan puluhan ribu orang melarikan diri melintasi perbatasan Sudan dan memicu peringatan bahwa negara tersebut dapat hancur, mengacaukan stabilitas wilayah yang bergejolak dan mendorong pemerintah asing untuk bergegas mengevakuasi warga negara mereka. (haninmazaya/arrahmah.id)