Selama delapan tahun lamanya, Majed Albazili mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat matahari.
Terakhir kali adalah ketika mahasiswa itu sedang berjalan di sebuah jalan di ibu kota Yaman, Sana’a, sebelum para teroris Syiah Houtsi melompat dari mobil mereka dan menahannya.
Setelah itu, kegelapan, dan penjara.
Itu adalah cobaan berat yang baru berakhir pada 16 April, ketika Albazili, yang kini berusia 32 tahun, dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran tawanan antara Houtsi dan pemerintah Yaman, bagian dari negosiasi lebih luas yang terus berlanjut antara Arab Saudi dan Houtsi untuk menemukan kesepakatan guna mengakhiri konflik yang dimulai pada 2014.
Lebih dari 800 tawanan dari kedua belah pihak dibebaskan, sebuah terobosan yang membuat banyak keluarga meneteskan air mata kebahagiaan.
Setelah pertukaran tawanan selesai, Albazili dan rekan-rekannya sesama mantan tahanan masih mengingat kengerian penahanan dan kegembiraan atas kebebasan mereka.
Albazili sedang dalam perjalanan menuju fakultas teknik di universitasnya untuk memulai semester baru ketika dia ditangkap. Alih-alih masuk kelas, dia malah dikurung di sel penjara, dan menurutnya, dia disiksa secara fisik dan mental.
“Penyiksaan di penjara termasuk pengurungan, penghinaan, perampasan, pemukulan dengan kabel dan pentungan, dan disetrum,” kata Albazili kepada Al Jazeera. “Itu adalah penyiksaan yang bahkan tidak bisa saya bayangkan.”
Albazili masih tidak mengerti mengapa dia ditangkap. “[Saya adalah] seorang warga sipil dan mahasiswa.”
Selama dipenjara, Albazili jarang mendapat kunjungan dari anggota keluarga, dan hadiah-hadiah pun dibatasi.
“Saya mencoba memasukkan setidaknya satu buku ke dalam penjara, tetapi mereka menolaknya,” katanya. “Saya mencoba dengan segala cara, dan saya menawarkan untuk memberi mereka uang agar saya bisa menerima buku. Semua upaya saya gagal. Mereka menghancurkan pendidikan dan membenci kaum terpelajar.”
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi hak asasi manusia menuduh Houtsi menekan para pengkritik dan penentangnya, dan sangat membatasi kebebasan berbicara di Sana’a sejak pengambilalihan kekuasaan oleh kelompok itu pada September 2014.
Houtsi yang bersekutu dengan Iran membantah adanya kebijakan penyiksaan terhadap para tahanan, dan membela diri dengan menyatakan bahwa para tahanan sering kali dinyatakan bersalah karena bekerja sama dengan koalisi pimpinan Arab Saudi, yang memulai serangan udara di Yaman pada Maret 2015 untuk mendukung pemerintah Yaman yang diakui oleh PBB.
Makan daging dua kali setahun
Gamal Buhaibeh, yang berasal dari Marib, ditangkap tiga tahun lalu ketika melawan upaya Houtsi untuk maju ke provinsi yang kaya akan sumber daya. Buhaibeh bukanlah anggota militer, namun ia menganggap keikutsertaannya dalam pertempuran itu sebagai bagian dari “tugas untuk mempertahankan provinsinya”.
Buhaibeh mengatakan bahwa kondisinya sangat sulit di penjara.
“Nutrisi di penjara sangat buruk,” katanya kepada Al Jazeera. “Untuk sarapan dan makan malam, mereka biasa memberi kami lentil. Makan siangnya hanya sedikit sayuran dan nasi. Itulah makanan kami selama bertahun-tahun. Kami menerima daging dua kali setahun, saat Iduladha dan maulid [Nabi Muhammad].”
Obat-obatan juga sulit didapat.
“Mereka yang bertanggung jawab atas penjara memberikan obat secara gratis kepada para tawanan yang sakit, tetapi obat tersebut akan segera kedaluwarsa. Dalam banyak kasus, tawanan harus membeli obat sendiri,” kata Buhaibeh.
Di Marib, Buhaibeh terbiasa dengan panasnya gurun pasir dan matahari yang menyinari kepalanya. Di penjara Sana’a, jauh di atas pegunungan Yaman, ia mengatakan bahwa ia merindukan sinar matahari yang selama ini tidak ia dapatkan.
“Tidak adanya paparan sinar matahari yang cukup menambah penderitaan para tahanan. Karena itu, kekebalan tubuh kami melemah. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kulit, anemia, dan TBC mulai menyebar.”
Pemukulan dan penghinaan
Ziyad Aldaeri, 32 tahun, adalah salah satu dari ratusan anggota Houtsi, sebagian besar pejuang, yang dibebaskan oleh pemerintah Yaman dan Arab Saudi sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan.
Pasukan pro-pemerintah menangkapnya pada 2018 di Hodeidah, tempat ia bertempur di pihak Houtsi.
Berbicara tentang cobaan berat yang dialaminya, Aldaeri mengatakan kepada Al Jazeera, “Saya mengalami pemukulan dan penghinaan di banyak penjara. Saya dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya dengan tangan dan kaki dibelenggu, dan mata saya ditutup.”
Aldaeri mengatakan bahwa keadaan menjadi lebih buruk ketika ia jatuh sakit. Meskipun sakit pada persendiannya dan demam, dia hanya menerima sedikit perawatan dari para penculiknya.
“Saya meminta mereka yang mengendalikan penjara untuk memberi saya obat. Tapi saya tidak mendapat apa-apa. Ketika tahanan lain memprotes karena tidak memberi saya obat, mereka dipukuli. Setelah seorang dokter datang dan memberikan obat.”
Pejabat pemerintah Yaman sebelumnya menyebut tuduhan penyiksaan di penjara sebagai “dibesar-besarkan”.
Sukacita kebebasan
Bagi ratusan keluarga Yaman, pertukaran tahanan menggantikan kesedihan selama bertahun-tahun dengan sukacita.
Buhaibeh mengatakan bahwa bertemu dengan keluarganya sendiri, setelah terpisah selama bertahun-tahun, merupakan anugerah dari Tuhan. “Saya tidak dapat menemukan kata-kata untuk menggambarkan perasaan gembira saya,” katanya. “Tahun-tahun yang penuh dengan kekurangan dan perpisahan dengan keluarga telah berakhir. Hari ini, kebahagiaan saya tidak terbatas.”
Albazili, yang kini bersatu kembali dengan keluarganya, harus mencubit dirinya sendiri untuk memastikan bahwa dia akhirnya menjadi orang yang bebas.
“Saya tidak bisa menggambarkan kebahagiaan saya,” katanya. “Saya bisa melihat langit dan menghirup udara segar lagi. Hari ini, saya bertanya pada diri sendiri, apakah ini mimpi atau kenyataan? Ini adalah sebuah kelahiran kembali.” (haninmazaya/arrahmah.id)