KHARTOUM (Arrahmah.id) – Amerika Serikat mengatakan bahwa faksi-faksi yang bertikai di Sudan telah menyetujui gencatan senjata selama 72 jam saat negara-negara Barat, Arab, dan Asia berlomba-lomba untuk mengeluarkan warganya dari negara tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pada Senin (24/4/2023) bahwa kesepakatan gencatan senjata ini menyusul negosiasi intensif selama dua hari dan akan dimulai pada Selasa (25/4). Kedua belah pihak belum mematuhi beberapa kesepakatan gencatan senjata sementara selama seminggu terakhir.
Pertempuran meletus antara angkatan bersenjata Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF) pada 15 April dan telah menewaskan sedikitnya 427 orang, melumpuhkan rumah sakit dan layanan lainnya, dan mengubah daerah pemukiman menjadi zona perang.
“Selama periode ini, Amerika Serikat mendesak SAF [Angkatan Bersenjata Sudan] dan RSF untuk segera dan sepenuhnya menegakkan gencatan senjata. Untuk mendukung penghentian pertempuran yang tahan lama, Amerika Serikat akan berkoordinasi dengan mitra regional dan internasional, serta para pemangku kepentingan sipil Sudan,” ujar Blinken dalam sebuah pernyataan, seperti dilaporkan Al Jazeera.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa kekerasan di negara yang mengapit Laut Merah, Tanduk Afrika, dan wilayah Sahel ini “berisiko menimbulkan bencana besar yang dapat melanda seluruh wilayah dan sekitarnya”.
Dia mendesak 15 anggota Dewan Keamanan PBB untuk menggunakan pengaruh mereka untuk mengembalikan Sudan ke jalur transisi demokratis setelah kudeta militer pada 2021 yang menyusul jatuhnya penguasa lama Omar al-Bashir dalam pemberontakan rakyat.
“Kita semua harus melakukan segala sesuatu dengan kekuatan kita untuk menarik Sudan kembali dari tepi jurang. Kami mendukung mereka pada saat yang mengerikan ini,” kata Guterres, seraya menambahkan bahwa dia telah mengizinkan relokasi sementara beberapa personel dan keluarga PBB.
Dewan Keamanan telah merencanakan sebuah pertemuan mengenai Sudan pada Selasa.
Misi evakuasi
Puluhan ribu orang, termasuk warga Sudan dan warga negara tetangga, telah mengungsi dalam beberapa hari terakhir, termasuk ke Mesir, Chad, dan Sudan Selatan, meskipun terjadi ketidakstabilan dan kondisi kehidupan yang sulit.
Setidaknya dua konvoi yang terlibat dalam evakuasi mendapat serangan pada akhir pekan lalu. Para diplomat menjadi sasaran serangan, dan setidaknya lima pekerja bantuan tewas.
Pertempuran cukup mereda pada akhir pekan sehingga AS dan Inggris dapat mengeluarkan staf kedutaan mereka, yang memicu serbuan evakuasi ratusan warga negara asing oleh berbagai negara, mulai dari negara-negara Arab Teluk hingga Rusia, Jepang dan Korea Selatan.
Afrika Selatan mengatakan pada Senin bahwa mereka telah mulai mengevakuasi puluhan warganya. Juru bicara kementerian luar negeri Clayson Monyela mengatakan kepada pers bahwa “mereka dibawa ke negara tetangga untuk keselamatan”.
Paris mengatakan telah mengatur evakuasi 491 orang, termasuk 196 warga negara Prancis dan lainnya dari 36 negara. Sebuah kapal perang Prancis sedang menuju Port Sudan untuk membantu menjemput lebih banyak pengungsi.
Empat pesawat angkatan udara Jerman telah mengevakuasi lebih dari 400 orang dari berbagai negara dari Sudan pada Senin.
Beberapa negara mengirimkan pesawat militer dari Djibouti untuk menerbangkan orang-orang dari Khartoum, termasuk ke Port Sudan di mana beberapa di antaranya menumpang kapal menuju Arab Saudi.
Keluarga-keluarga dengan anak-anak memadati pesawat-pesawat angkut militer Spanyol dan Prancis, sementara sekelompok biarawati berada di antara para pengungsi di pesawat Italia, demikian foto-foto menunjukkan. (haninmazaya/arrahmah.id)