RIYADH (Arrahmah.id) – Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar pad Sabtu (15/4/2023) menyerukan dialog di Sudan di tengah bentrokan antara tentara dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF), lapor Anadolu.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menyatakan keprihatinan yang mendalam atas kekerasan yang sedang berlangsung di Sudan.
Kementerian meminta para pemimpin militer dan politik Sudan “untuk mengutamakan bahasa dialog, menahan diri, dan kebijaksanaan, serta menyatukan barisan dengan cara yang berkontribusi dalam menyelesaikan konsensus yang telah dicapai, termasuk perjanjian kerangka kerja.”
UEA, pada bagiannya, meminta pihak-pihak yang bertikai di Sudan untuk menahan diri dan mengakhiri krisis saat ini melalui dialog.
Dalam sebuah pernyataan, Kedutaan Besar UEA di Khartoum menyuarakan keprihatinan yang mendalam atas situasi di Sudan dan menegaskan kembali posisi negara tersebut “tentang pentingnya de-eskalasi, dan bekerja untuk menemukan solusi damai untuk krisis antara pihak-pihak terkait.”
Ia menyerukan untuk mendukung proses politik di Sudan dan “mencapai konsensus nasional menuju pembentukan pemerintahan.”
Sementara itu, Qatar mendesak pihak-pihak yang bertikai di Sudan untuk segera menghentikan pertempuran dan menyelesaikan perbedaan melalui dialog.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Qatar meminta semua pihak “untuk segera menghentikan pertempuran, menahan diri secara maksimal, menggunakan suara nalar, mengutamakan kepentingan umum, dan menghindarkan warga sipil dari konsekuensi pertempuran.”
Negara Teluk itu menyatakan “aspirasi agar semua pihak mengupayakan dialog dan cara-cara damai untuk menjembatani perbedaan.”
Pertempuran pecah pada Sabtu pagi antara tentara Sudan dan pejuang RSF di Khartoum, dengan suara tembakan dan bom terdengar di dekat markas besar tentara dan istana presiden, demikian menurut wartawan Anadolu di Khartoum.
Sementara RSF menuduh tentara menyerang pasukannya di selatan Khartoum dengan senjata ringan dan berat, militer mengatakan bahwa pasukan paramiliter tersebut “menyebarkan kebohongan” dan menyatakannya sebagai kelompok “pemberontak”. (haninmazaya/arrahmah.id)