JAKARTA (Arrahmah.id) – Politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, mengkritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) setelah mereka mengunggah meme berisi video yang memperlihatkan Ketua DPR Puan Maharani berbadan tikus yang keluar dari gedung DPR.
Hendrawan mengatakan mahasiswa seharusnya tidak mengumbar umpatan dan narasi yang mendegradasi.
“Saya khawatir ada yang memanfaatkan BEM-UI untuk melakukan ekspresi kegiatan yang keluar dari koridor dan etika akademik. Mahasiswa seharusnya menekankan krida-krida yang analitik-solutif. Menantang diskusi dan debat yang rasional-argumentatif. Bukan mengumbar umpatan dan narasi yang mendegradasi esensi tugas pokoknya,” kata Hendrawan kepada wartawan.
Hendrawan menyebut DPR melalui Badan Legislasi DPR mengadakan rangkaian acara untuk menyerap aspirasi para pihak yang relevan. Menurutnya, sejumlah guru besar dilibatkan untuk melakukan asesmen akhir, termasuk guru besar dari UI.
“Untuk mengantisipasi ekses yang tak diinginkan (unwanted effects) dari UU Ciptaker, kita harus membangun ekosistem dunia usaha yang lebih berkeadilan di masa depan. Di F-PDIP sedang dipikirkan dan diperdebatkan kemungkinan menggulirkan RUU Cipta Keadilan dengan metode omnibus,” imbuhnya.
Menanggapi kritik yang disampaikan oleh Hendrawan, Ketua BEM UI Melki Sedek Huang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh BEM UI bukanlah sebuah umpatan melainkan kritik yang tepat.
“Bagi saya itu bukan sebuah umpatan, tapi itu adalah kritik yang tepat,” kata Melki pada Kamis (23/3/2023), seperti dilansir detik.com.
Melki menegaskan meme Puan berbadan tikus adalah ekspresi puncak kemarahan mahasiswa UI terkait disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja, yang dinilai sama saja substansinya dengan UU Cipta Kerja.
“Jadi visualisasi dan berbagai hal yang kami publikasikan itu menggambarkan seluruh kemarahan kita. Bahwa orang-orang yang di dalam (DPR) itu bukan lagi mewakili kita, tapi mewakili berbagai kepentingan-kepentingan yang jelas bukan kepentingan rakyat. Sehingga tidak pantas lagi mereka menggunakan kata-kata Dewan Perwakilan Rakyat,” ucap Melki.
Melki juga mengatakan bahwa kritik yang disampaikan oelh BEM UI sudah berada dalam ranah demokratis, dan partai politik semestinya paham dengan hal tersebut.
“Ini kritik yang tepat, ranah yang demokratis, dan harusnya seluruh partai politik paham betul bahwa dalam negara demokrasi yang paling tinggi adalah kedaulatan rakyat, bukan cuma kedaulatan oligarki,” ujar Melki.
“Kita tidak melihat suara-suara penting terkait penolakan Cipta Kerja dikumandangkan. Malah mengesahkan produk hukum yang inkonstitusional. Itu yang sebenarnya ingin disampaikan dari publikasi tersebut,” lanjutnya.
Melki menyampaikan tiga hal yang menjadi dasar BEM UI menilai Perppu Cipta Kerja melanggar konstitusi. Pertama adalah karena Indonesia, menurutnya, tak sedang dalam situasi genting.
“Bagi kami, ini adalah upaya Presiden Jokowi yang sangat inkonstitusional. Dia menabrak aturan. Kenapa? Perppu Cipta Kerja ini diterbitkan dengan tidak memenuhi parameter yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Perppu itu diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa,” papar Melki.
“Kita tidak bisa melihat kegentingan luar biasa jenis apa, dan apa upaya yang sedang dilakukan pemerintah dengan Perppu Cipta Kerja. Kalau dibilang berkaitan dengan inflasi, (Menteri Keuangan) Sri Mulyani mengatakan kondisi keuangan kita sedang baik-baik saja,” sambung Melki. (rafa/arrahmah.id)