SHARM EL-SHEIKH (Arrahmah.id) – “Israel” telah setuju untuk menghentikan pengesahan pos-pos permukiman selama enam bulan setelah pertemuan di Mesir pada Ahad (19/3/2023) di tengah meluasnya skeptisisme Palestina.
KTT satu hari berlangsung di kota resor Sharm El-Sheikh antara perwakilan Otoritas Palestina (PA), “Israel”, Mesir, Yordania, dan Amerika Serikat.
Pertemuan ini merupakan rangkaian dari pertemuan puncak sebelumnya di kota pelabuhan Aqaba di Yordania pada Februari. Meskipun “Israel” kemudian menyetujui de-eskalasi – komitmen yang dibuat lagi pada Ahad (19/3) – kekerasan terhadap Palestina terus berlanjut.
Pada hari yang sama dengan pertemuan Aqaba, para pemukim menanggapi pembunuhan dua orang “Israel” di kota Hawara dengan membakar ratusan rumah dalam serangan yang menewaskan seorang warga Palestina. Seorang komandan “Israel” menyebut insiden itu sebagai “pogrom”.
Pernyataan akhir KTT Mesir mengatakan “Israel” telah berkomitmen untuk menghentikan diskusi tentang unit permukiman baru selama 4 bulan dan untuk menghentikan otorisasi pos-pos terdepan selama 6 bulan.
Semua permukiman “Israel” di Tepi Barat melanggar hukum internasional tetapi pos terdepan adalah permukiman yang saat ini tidak diakui bahkan oleh “Israel”.
Pernyataan KTT, yang diterbitkan di Twitter oleh juru bicara kementerian luar negeri Mesir, mengatakan pemerintah “Israel” dan PA menegaskan kembali kesiapan dan komitmen bersama mereka untuk segera bekerja mengakhiri langkah-langkah sepihak untuk jangka waktu 3-6 bulan.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, langkah-langkah yang dianggap sepihak, atau diambil tanpa kesepakatan, dapat mencakup upaya Palestina untuk meminta pertanggungjawaban “Israel” di PBB atau melalui mekanisme hukum internasional.
Pada November, Perdana Menteri “Israel” saat itu Yair Lapid menggambarkan sebagai upaya “unilateral” yang pada akhirnya berhasil di PBB untuk meminta pendapat Mahkamah Internasional tentang pendudukan “Israel” atas wilayah Palestina.
Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken pada Maret 2021 mengkritik “tindakan yudisial sepihak” setelah jaksa Pengadilan Kriminal Internasional mengumumkan pembukaan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang di Palestina.
Pernyataan Sharm El-Sheikh juga mengatakan “Israel” dan Palestina menegaskan kembali hak hukum PA untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan di Area A Tepi Barat, yang secara resmi diakui “Israel” berada di bawah kendali penuh PA.
Kedua belah pihak akan bekerja sama untuk mewujudkan tujuan ini.
Hal ini menyiratkan usaha dari “Israel” untuk mengurangi frekuensi serangan militer yang dilakukan hampir setiap hari di Tepi Barat, khususnya di kota-kota seperti Jenin dan Nablus.
Namun, sumber militer “Israel” dikutip oleh Radio Channel 12 pada Sabtu (18/3) mengatakan “Israel tidak berniat menghentikan serangan di kota-kota Palestina”.
Operasi ini seringkali mematikan dan telah terjadi lonjakan jumlah korban tahun ini.
Sejauh ini pada 2023, 89 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan dan pemukim “Israel”, menurut kementerian kesehatan Palestina.
Rujukan pada tanggung jawab keamanan PA juga menunjukkan bahwa “Israel” dan AS mengharapkan PA untuk mengekang aktivitas kelompok militan seperti Hamas, Jihad Islam Palestina, dan Lion’s Den yang relatif baru.
Ahmad Ghoneim, seorang pemimpin dalam gerakan Fatah yang mendominasi PA, mengatakan kepada The New Arab bahwa Washington sedang mencoba untuk memaksakan rencana keamanan dimana PA menindak kelompok-kelompok perlawanan yang muncul.
Dia memperingatkan bahwa jika badan pemerintahan itu mencoba menerapkan rencana itu, maka hanya akan merusak keberadaannya sendiri dan rakyat Palestina.
Blinken, Menteri Luar Negeri AS, telah mendorong Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk menyetujui rencana keamanan Amerika untuk memulihkan cengkeraman PA di Jenin dan Nablus, situs berita Axios sebelumnya melaporkan, mengutip pejabat Amerika dan “Israel”.
Lima negara peserta KTT Ahad (19/3) sepakat untuk menciptakan mekanisme untuk membantu meningkatkan kondisi ekonomi rakyat Palestina dan secara signifikan meningkatkan keuangan Otoritas Palestina.
“Israel” dan PA juga setuju membuat mekanisme untuk mengekang dan melawan kekerasan, hasutan dan pernyataan serta tindakan yang menghasut. Ini akan dilaporkan bulan depan.
Terlepas dari kesepakatan yang diumumkan dalam pernyataan bersama, KTT berlangsung di bawah awan skeptisisme Palestina yang kuat.
“Orang-orang Palestina tidak akan mendapat apa-apa dari KTT ini,” kata aktivis terkemuka Palestina Issa Amro pada Ahad (19/3) sebelum pernyataan itu dirilis.
“KTT ini tentang menguntungkan… beberapa pemimpin Palestina yang sudah ketinggalan zaman dan mereka tidak mewakili warga Palestina setelah mereka membatalkan pemilu [pada 2021].”
KTT tersebut juga menghadapi tentangan keras dari faksi-faksi Palestina, dari Hamas hingga gerakan sayap kiri Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP).
Pada Ahad pagi (19/3), sebelum pernyataan Sharm El-Sheikh dikeluarkan, Hamas mengatakan “mengutuk keras” keterlibatan PA dalam pertemuan tersebut.
PFLP mengeluarkan pernyataan bersama dengan Jihad Islam Palestina pada Sabtu (18/3) yang menyebut partisipasi PA di Sharm El-Sheikh sebagai “kudeta melawan keinginan rakyat”.
“Zionis [Israel] memanfaatkan KTT dan pertemuan keamanan ini untuk meluncurkan lebih banyak agresi dan pembantaian keji,” tambah kedua kelompok itu.
Ahmad Ghoneim, pemimpin Fatah, pada Kamis (16/3) juga mengeluarkan peringatan menjelang KTT.
“Antara Aqaba dan Sharm El-Sheikh adalah sungai merah darah,” katanya dalam sebuah unggahan Facebook. (zarahamala/arrahmah.id)