YOGYAKARTA (Arrahmah.id) – Mendekati tahun politik 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memberikan warning kepada para pengurusnya.
MUI DIY akan menonaktifkan pengurus jika secara terbuka mendukung salah satu kubu calon presiden (capres).
Ketua Umum MUI DIY, Prof Dr Machasin mengatakan, mendukung salah satu capres adalah hak pribadi. Sehingga jika ada pengurus MUI yang akan secara terbuka mendukung salah satu capres lebih baik nonaktif di MUI.
“Mungkin baiknya kalau dukung siapa ya sebaiknya nonaktif dari MUI,” ujar Machasin kepada wartawan di Kantor MUI DIY, Jumat (10/3/2023), lansir Detik.com.
“Wong kita menganjurkan untuk tidak ikut politik praktis malah pengurusnya itu kan malah nanti malah menghancurkan sendiri. Tapi sebagai individu boleh setiap individu boleh, tapi untuk tidak mengatasnamakan MUI lembaga maka itu diminta nonaktif,” terangnya.
Dijelaskan Machasin, bagi para pengurus yang nantinya secara terbuka mendukung salah satu kubu, bisa kembali aktif di MUI jika aktivitas politiknya telah selesai.
“Misalnya ikut kampanye, silakan saja sebagai pribadi tetapi agar tidak disalahgunakan jabatan di sini ditinggalkan dulu, kalau sudah selesai kampanye balik lagi boleh,” jelasnya.
Machasin menambahkan, pihaknya juga mengimbau untuk tidak dilakukan politik praktis di tempat-tempat ibadah. Namun jika hanya sebatas penyuluhan politik, menurutnya masih bisa dilakukan di tempat ibadah.
“Karena kita tidak bisa lepas dari politik. Jadi bagaimana berpolitik yang sehat, kalau sudah dukung mendukung itu letaknya tidak di masjid, tidak di gereja dan lainnya,” terangnya.
Machasin menegaskan jika MUI hanya bisa memberi imbauan saja. Pasalnya larangan menggelar politik praktis di tempat-tempat ibadah harus melalui pembahasan yang dilakukan oleh pemerintah.
“Ya kita tidak bisa melarang ya, kalau larangan negara itu pun harus ada aturan ya, kan menjadi MUI tidak punya kewenangan untuk melarang tapi mengimbau. Tapi kalau bentuknya surat edaran itu imbauan agar tidak menggunakan tempat-tempat ibadah untuk tempat politik praktis,” jelas Machasin.
“Kalau politik esensial ya tidak dukung siapa-siapa, misalnya pemilu yang damai, cerdas itu boleh, ndak masalah, tapi kalau mengarah ke satu calon tertentu itu yang tidak boleh. Menjelek-jelekkan partai tertentu itu yang ndak bisa,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)