(Arrahmah.id) – Kajian tafsir ini bukan kita yang menafsirkan ayat Al Qur’an, kita hanya mengambil faidah dari penjelasan para ulama. Kita berusaha meminta taufik pertolongan Allah Subhanahu wata’ala dengan segala kekurangan kita. Dan ketika kita mengikuti jejak para salaf, maka kita mengikuti para ulama.
Jika hanya mengikuti Al Qur’an, bisa jadi kita salah jalan, karena yang bisa menjelaskan adalah para ulama. Wasilahnya adalah para ulama, para sahabat, para generasi tabiin dan mereka semua yang mengikuti petunjuk Qur’an dan nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.
Kita masuk faidah tafsir surah Al Fatihah ayat ketujuh.
“Shiratalladzina an’amta alaihim, ghairil maghdubi alaihim waladhallin.”
Sebagian ulama menyampaikan surah Al Fatihah terdiri dari 6 ayat atau 7 ayat. Ada yang menghitung dari basmallah, dan tidak.
Ayat 6 dan 7 saling berkaitan.
Apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus? Allah mendatangkan firmannya di ayat ketujuh: “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka. Dan bukan jalan orang-orang yang dilaknat (dimurkai) dan juga bukan orang-orang yang tersesat.”
Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin rahimahullah saat menjelaskan tafsir ayat ketujuh, beliau mengutip surah An Nisa.
An Nisa 69: “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.”
Yang Allah berikan nikmat kepada mereka adalah golongan-golongan yang disebutkan dalam An Nisa 69: Yang pertama para Nabi dan Rasul, yang kedua orang-orang yang membenarkan, mempercayai apa-apa yang terdapat di dalam wahyu Allah dan yang dibawa oleh nabi shalallahu alaihi wasallam, yang ketiga para syuhada, dan keempat orang-orang saleh.”
Yang dimaksud saleh di sini, saleh secara hati (batin) dan fisik.
Syaikh ketika membawa ayat ini dalam penjelasannya di tafsir ayat ketujuh Al Fatihah, beliau mengatakan empat golongan ini memiliki kesamaan, dan kesamaan inilah yang menjadikan seseorang mengetahui apa sebab mereka diberikan nikmat Allah.
Mereka empat golongan ini yang mengetahui ilmu tentang kebenaran, dan tidak hanya itu, tapi mereka juga yang mengamalkan kebenaran tersebut. Jadi menyatukan ilmu dan amal.
Ikutilah mereka yang senantiasa memadukan antara ilmu dan amal.
An Nahl 97: “Barangsiapa beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang bahagia, dan akan Kami beri balasan dengan sebaik-baiknya balasan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.”
Karakter iman itu adalah ilmu dan amal, karena tidak mungkin seseorang beriman kecuali dia telah mengilmuinya. Maka dari itu jika kita jujur dan benar ketika membaca Al Fatihah ayat ketujuh ini, maka itu artinya kita memohon dan meminta kepada Allah: “Ya Allah tunjukkanlah kami kemudahan, tunjukkanlah kami jalan yang lurus, tunjukkanlah kami taufik untuk berilmu dan beramal.”
Jadi kalau kita jujur, kita berharap memohon kemudahan kepada Allah untuk berilmu dan beramal. Di luar shalat, seharusnya menjadi orang yang paling semangat untuk menuntut ilmu, karena kita meminta kepada Allah jalan orang-orang yang kesamaan mereka adalah ilmu dan amal.
Jika ada kesempatan untuk mengilmui diri, namun kita tidak mengambilnya, maka kita tidak jujur dengan doa kita.
Manusia itu tempatnya salah, khilaf, tapi ketika tergelincir, ia akan bangkit untuk meminta ampunan Allah, itulah mental orang beriman dan mengamalkan ayat 6 dan 7 dalam surah Al Fatihah. Ia memiliki semangat dan pola hidup yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Do’a itu jika kita lalai maka tidak dikabulkan.
Ini pertanyaan untuk kita sendiri, jangan sampai kita meminta, tapi kita tidak mengambil kesempatan tersebut.
Lalu siapa golongan orang-orang yang dilaknat/dimurkai Allah? Mereka adalah orang-orang Yahudi, dan siapa pun yang mengetahui ilmunya tapi dia tidak mengamalkan.
Ketika dia sudah tahu ilmunya tapi tidak beramal, itu bisa jadi mereka tidak ikhlas atau niat mereka salah, dan sebaliknya, “waladhallin”, para ulama menjelaskan itu adalah nashara, dan siapa pun yang tidak tahu ilmunya dan semangat dalam beramal.
Mereka ada upaya tapi tidak tahu ilmunya, mereka tersesat.
Maka benar-benar kita harus coba resapi doa kita dalam surah Al Fatihah.
Kita berlindung, meminta kepada Allah dari golongan orang-orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan maupun yang beramal tapi tidak mempunyai ilmu. Masalah kelompok pertama adalah masalah niat, sedang yang kedua adalah masalah ilmu.
Ketika Allah menjelaskan dalam surah An Nisa tentang 4 golongan tadi, itu berarti Allah menjelaskan itulah nikmat sesungguhnya. Jadi nikmat yang sesungguhnya bukan sebatas Allah berikan kekayaan kepada seseorang, bukan sebatas Allah memberikan kesehatan kepada seseorang, bukan sebatas ketika Allah memberikan anak-anak yang banyak kepada seseorang, rumah yang luas, kendaraan yang banyak, dan lain-lain. Bukan itu. Itu masih di tahapan ujian dari Allah, bukan nikmat.
Al Anbiya 35: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
Ini Allah subhanahu wata’ala firmankan, Allah menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan. Jadi kekayaan maupun kemiskinan itu ujian, kesehatan maupun sakit itu ujian, kita memiliki kendaraan atau tidak itu ujian, kita memiliki tempat tinggal yang luas dan mewah atau yang biasa-biasa saja, itu ujian, bukan nikmat sesungguhnya.
Lalu bagaimana nikmat sesungguhnya? Ketika seseorang Allah berikan nikmat tersebut (harta, kesehatan, anak, dll), lalu mereka gunakan untuk ilmu dan amal, itu baru kenikmatan sesungguhnya dari Allah.
Jadi jangan senang ketika Allah berikan kemudahan harta kepada kita, jangan terpana dengan kenikmatan itu dan kita anggap itu nikmat dari Allah, itu masih ujian.
At Taubah 55: “Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir.”
Orang-orang yang diberikan kehidupan dunia, ketika melihat kekayaan Qarun, mereka terpukau, bagi mereka Qarun mendapatkan keberuntungan yang besar. Maka orang-orang berilmu mengatakan: “Celakalah engkau yang terpana dengan kekayaan Qarun, sesunguhnya balasan Allah itu jauh lebih baik bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.”
Semoga Allah memberikan hidayah untuk berilmu dan beramal. Ketika kita berdoa di ayat ketujuh ini maka sebuah kontradiksi saat di kehidupan sehari-hari tujuannya atau orientasinya hanya uang, harta, omset saja.
Tapi bukan berarti kita tidak boleh kaya, tidak boleh sehat, tidak boleh memiliki kecerdasan, itu ujian dari Allah, amanah untuk seseorang. Setengah dari para sahabat yang diberi kabar gembira oleh Allah dan dijamin masuk surga, itu adalah orang kaya, tapi mereka berilmu dan beramal. Yang menjadi salah adalah jika tujuan kita adalah dunia.
Nabi bersabda mengenai keutamaan surah Al Fatihah: “Allah berfirman, Aku membagi shalat di antaraKu dan di antara hambaKu menjadi dua bagian, dan bagi hambaKu apa-apa yang dia minta, Maka ketika hambaku berkata:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(Segala Puji Hanya Bagi Allah, Tuhan semesta alam). Allah SWT berfirman:
حَمِدَنِي عَبْدِي
(Hambaku telah memuji-Ku)
dan ketika seorang hamba berkata:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
ِ(Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
Allah ‘SWT berfirman:
أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
(Hambaku telah memujiku)
dan ketika seorang berkata:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(Yang Menguasai di Hari Pembalasan),
Allah berfirman:
مَجَّدَنِي عَبْدِي
(Hambaku telah memuliakan Aku).
dan ketika seseorang berkata:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
ُ(Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan),
Allah SWT pun berfirman:
هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
َ
(ini adalah bagian-Ku dan bagian hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya).
dan saat berkata:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين
(Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat),
Allah pun berfirman:
هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
َ(Ini adalah bagi hambaku, dan bagi hambaku apa yang dia pinta)
(HR Imam Muslim dan Abu Hurairah)
Maka Al Fatihah ini begitu agung, begitu mewah, begitu mahal jika kita memahami kandungan-kandungan di setiap ayat.
Kebahagiaan Allah berikan, Allah curahkan, kepada kita. Jadi jangan jadikan shalat itu beban, shalat itu istirahat, shalat itu kebahagiaan, ketenangan, karena ini momentum besar, Allah berikan nikmat bagi hambaNya.
*Disarikan dari kajian yang diisi oleh Ustadz Ilham Prayogo hafidzahullah
(haninmazaya/arrahmah.id)