GAZA (Arrahmah.id) – Militer zionis “Israel” pada Kamis (23/2/2023) melakukan beberapa serangan udara di Jalur Gaza sebagai tanggapan atas dugaan tembakan roket dari wilayah Palestina yang diblokade.
Kekerasan tersebut terjadi sehari setelah serangan “Israel” yang paling mematikan di Tepi Barat yang diduduki dalam hampir 20 tahun terakhir.
Sebelas warga Palestina, termasuk seorang remaja berusia 16 tahun, tewas dan lebih dari 80 lainnya terluka akibat tembakan pada Rabu (22/2) ketika pasukan “Israel” menyerbu kota Nablus di Tepi Barat yang menjadi titik rawan, yang memicu seruan internasional agar warga Palestina tenang, lansir Daily Sabah.
Pejabat tinggi Palestina Hussein al Sheikh menggambarkan penyerbuan tersebut sebagai “pembantaian” dan menyerukan “perlindungan internasional bagi rakyat kami.”
Sebelum fajar pada Kamis (23/2), kelompok-kelompok bersenjata Palestina dilaporkan telah membalas menembakkan enam roket dari Gaza ke “Israel”.
Tentara “Israel” mengklaim bahwa mereka berhasil mencegat lima roket, sementara roket keenam menghantam sebuah wilayah tak berpenghuni.
Kelompok bersenjata Palestina, Jihad Islam, mengaku bertanggung jawab atas serangan roket-roket tersebut setelah mereka meminta pasukan perlawanan untuk menanggapi kejahatan besar di Nablus.
Dua jam kemudian, militer “Israel” melakukan serangan udara ke beberapa target di Gaza, mengirimkan gumpalan asap hitam ke langit.
Rudal-rudal tersebut menargetkan “sebuah pabrik senjata” dan “kamp militer”, yang keduanya dikelola oleh penguasa Gaza, Hamas, kata militer dalam sebuah pernyataan.
Kepala Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengimbau agar semua pihak tenang, dan memperingatkan bahwa ketegangan di Tepi Barat telah mencapai tingkat yang paling berbahaya dalam beberapa tahun terakhir.
“Prioritas utama kami adalah mencegah eskalasi lebih lanjut, mengurangi ketegangan dan memulihkan ketenangan,” kata kepala PBB.
“Situasi di wilayah Palestina yang diduduki berada pada tingkat yang paling mudah terbakar dalam beberapa tahun terakhir,” tambahnya, merujuk pada ketegangan yang “sangat tinggi” dan proses perdamaian yang terhenti. (haninmazaya/arrahmah.id)