KAIRO (Arrahmah.id) – Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah tiba di Mesir pada awal kunjungan tiga hari ke Timur Tengah dengan meningkatnya ketegangan “Israel”-Palestina, perang Rusia di Ukraina serta program nuklir Iran menjadi agenda utamanya.
Setelah singgah di Kairo, Blinken akan melakukan perjalanan pada Senin (30/1/2023) dan Selasa (31/1) ke Yerusalem dan Ramallah, di mana dia akan bertemu Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu dan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.
Perjalanan Blinken telah direncanakan dengan pemerintah sayap kanan baru Netanyahu menjadi titik fokus, karena kekhawatiran atas arah masa depan “Israel” dan terhentinya pembicaraan damai dengan Palestina tampak besar.
Tetapi kunjungan itu mendapat urgensi baru pada Kamis (26/1) setelah pasukan “Israel” membunuh 10 warga Palestina dan setelah seorang Palestina melakukan serangan balasan di Yerusalem Timur yang diduduki yang menewaskan tujuh warga “Israel” di luar sinagog sehari kemudian.
Serangan lain menyusul pada Sabtu (28/1). Ketakutan semakin menjadi bahwa kekerasan yang sudah meningkat akan semakin massif.
Dalam pembicaraan dengan pemerintahan baru “Israel”, yang mencakup partai-partai ultra-nasionalis yang ingin meningkatkan pembangunan permukiman di wilayah pendudukan, Blinken akan mengulangi seruan Amerika Serikat untuk tenang dan menekankan dukungan Washington untuk solusi dua negara.
Blinken juga akan melakukan perjalanan ke Ramallah untuk bertemu Abbas, pejabat Palestina lainnya, dan anggota masyarakat sipil. Dengan kedua pemimpin, Blinken akan menyerukan “secara luas langkah-langkah yang harus diambil untuk mengurangi ketegangan”, kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel kepada wartawan.
Analis mempertanyakan apakah Blinken dapat mencapai tujuannya.
“Yang terbaik yang bisa mereka lakukan adalah menjaga stabilitas untuk menghindari Mei 2021 lagi,” kata Aaron David Miller, seorang negosiator veteran AS, mengacu pada 11 hari pertempuran antara “Israel” dan Hamas yang berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi Mesir.
Ghaith al-Omari, mantan pejabat Palestina yang sekarang di The Washington Institute, mengatakan dia mengharapkan Blinken mengulangi posisi tradisional AS daripada membuat terobosan baru.
“Perjalanan itu sendiri adalah pesannya,” katanya. “Blinken akan meminta Abbas untuk berbuat lebih banyak, tetapi tidak jelas apa yang bisa mereka lakukan,” katanya merujuk pada warga Palestina.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan Blinken juga menyerukan pelestarian status quo di kompleks Masjid Al-Aqsa, di mana orang Yahudi tidak diizinkan untuk beribadah, sebagai respon atas kecaman dunia Arab terhadap kunjungan provokatif Ben-Gvir pada awal Januari.
Paus Francis pada Ahad (29/1) meminta kedua belah pihak untuk menahan diri dari eskalasi. “Spiral kematian yang meningkat dari hari ke hari hanya menutup sedikit kepercayaan yang ada di antara kedua bangsa,” kata Paus.
Kekerasan di Palestina juga kemungkinan akan menjadi agenda pembicaraan antara Blinken dan Presiden Mesir Abdel Fattah As-Sisi, yang mana peran tradisional negaranya sebagai mediator Timur Tengah telah membantunya tetap menjadi mitra utama AS.
Di Mesir, Blinken juga diperkirakan akan membahas isu-isu regional seperti konflik di Libya dan Sudan, kata Departemen Luar Negeri.
Mesir tetap menjadi salah satu penerima utama bantuan militer AS, tetapi kerja sama tersebut menghadapi pengawasan dari sebagian Partai Demokrat Biden karena catatan pelanggaran HAM As-Sisi.
Perang 11 bulan Rusia di Ukraina juga akan menjadi agenda. Ukraina, yang telah menerima peralatan militer dari AS dan Eropa, telah meminta “Israel” menyediakan sistem rudal untuk menembak jatuh drone, termasuk yang dipasok oleh musuh regional “Israel”, Iran.
“Israel” menolak permintaan tersebut. Meskipun telah mengutuk invasi Rusia, “Israel” hanya membatasi bantuannya pada bantuan kemanusiaan dan alat pelindung, karena memiliki keinginan untuk melanjutkan kerja sama dengan Moskow dalam perang Suriah dan komitmen untuk memastikan kesejahteraan orang-orang Yahudi Rusia.
Para diplomat juga akan membahas program nuklir Iran, serta upaya pemerintahan Biden untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang terhenti dan mencegah Iran mengembangkan senjata. (zarahamala/arrahmah.id)